Lanjutan kisah nyata Kang Win di penjara. Silahkan ikuti akun Inspirasiana ini untuk membaca lanjutan ceritanya.
Ada Gua Maria di Dalam Penjara (Melawan Dengan Sabar, Bagian 11)
Ada dua tempat peribadatan yang terdapat di dalam kompleks Lapas Porong, yaitu Masjid dan Gereja. Keduanya terletak di bagian tengah areal Lapas, berdiri sejajar hanya dipisahkan oleh 'Menara' Pengamanan.
Di bagian atas menara setinggi kurang lebih 25 meter ini terdapat 2 lampu sorot berkapasitas besar dengan daya jangkau yang cukup jauh. Sedangkan di bagian tengah dari ketinggian menara itu terdapat 2 buah alat pengeras suara. Dari menara inilah biasa dilakukan pemanggilan kepada WBP untuk keperluan tertentu.
Masjid Lapas yang mempunyai nama Masjid Nurul Fuad, saat saya 'pulang' hampir merampungkan proyek perluasan bangunan yang secara bertahap dilakukan dalam kurun waktu 2 tahun terakhir ini.Â
Proyek perluasan ini dibiayai dengan infak dari para WBP serta Pimpinan dan Staf Lapas. Dengan perluasan itu, Masjid Nurul Fuad bisa menampung sekitar 1.500 jamaah salat berjamaah dalam kondisi normal (tidak pandemi COVID-19).
Adapun Gereja bisa menampung sekitar 100 jemaat. Saya tidak tahu persis apakah kapasitas sebesar itu cukup untuk menampung animo para jemaat atau tidak. Estimasi saya kapasitas sebesar itu sudah cukup ideal.Â
Pertama, mengingat jumlah WBP yang merupakan umat Kristiani tidak terlalu banyak jika dibandingkan dengan yang Muslim. Kedua, secara jadwal, waktu penggunaan Gereja dibagi dua, yakni untuk mereka yang Katolik dan mereka yang Kristen Protestan.
Sebagai Muslim, saya termasuk tidak pernah nongkrong di Masjid. Saya hanya datang saat waktu salat berjamaah yaitu duhur, ashar, dan magrib. Apalagi saat pandemi berlangsung hanya sesekali saya datang ke Masjid.
Di luar alasan pandemi, saya menghindari 'nongkrong' di masjid agar tidak terjebak kepada kebiasaan menjadikan masjid sebagai tempat istirahat tidur siang. Maka kalaupun saya menyempatkan membuka Kitab Suci Al Qur'an setelah salat, saya melakukannya di kamar.
Untuk nongkrong saya punya beberapa tempat favorit. Yang pertama adalah area selasar yang mengelilingi lapangan sepakbola. Jika pagi sehabis joging, duduk di selasar melihat aktivitas WBP lainnya sambil menikmati pemandangan Gunung Penanggungan yang bisa terlihat dengan jelas.
Sesekali ketika cuaca cerah kita bisa melihat dua gunung lainnya yang tampak seperti sedang berimpitan dengan Gunung Penanggungan.Â
Kedua gunung yang dimaksud ialah Gunung Arjuno dan Gunung Welirang. Jika sore hari bisa sambil menonton sepakbola atau bola voli. Jika musim kemarau menonton adu layang-layang jadi pilihan ketika nongkrong di selasar itu.
Siang sampai sore hari, selasar juga diramaikan oleh 'lapak' togel. Tampaknya Lapas merupakan tempat paling aman untuk berjualan togel. Tidak seperti di luar yang selalu jadi incaran razia polisi.Â
Di awal-awal kedatangan saya di Porong, di selasar itu masih diizinkan ada yang berjualan kopi seduh. Namun saat terakhir belakangan ini sudah tidak diizinkan lagi.
Tempat nongkrong kedua yang menjadi favorit saya adalah 'kebun' yakni areal pertanian yang dikelola oleh beberapa WBP. Di kebun itu bisa disaksikan aneka tanaman sayur, kolam ikan, Â juga ternak ayam dan bebek serta kambing.
Selain di selasar dan kebun, sesekali saya nongkrong di gereja. Mengobrol dengan para aktivis gereja atau jemaat yang kebetulan mampir di gereja. Mengobrol ngalor ngidul sambil minum kopi dan sesekali menghisap rokok.
Gereja ini cukup ramai setiap harinya. Yang paling mencolok adalah latihan band. Jadi saat nongkrong itu bisa sambil menikmati hiburan musik dari anak-anak band yang sedang latihan.Â
Untuk ibadah minggu, pihak Lapas memfasilitasi gereja untuk mendapatkan kunjungan rombongan jemaat gereja lain di luar Lapas secara teratur.
Tidak tepat di hari minggu memang, karena pas di hari minggu tentu sibuk dengan gereja masing-masing. Dengan begitu meski WBP yang umat Kristiani tidak begitu banyak, saat ibadah minggu tetap semarak karena kunjungan dari jemaat lain dari luar lapas itu.
Saat datang, rombongan jemaat dari luar itu biasanya (hampir) selalu membawa 'bingkisan' berupa aneka barang kebutuhan sehari-hari mulai dari peralatan mandi (handuk, sabun mandi, sikat gigi, dan pasta gigi), sabun cuci, mi instan, dan lain-lain. Barang-barang bingkisan itu sering kali dinikmati pula oleh WBP di luar jemaat gereja termasuk mereka yang beragama Islam.
Sebagaimana saat Idul Adha maka semua WBP tanpa memandang agamanya mendapatkan paket daging kurban dari masjid. Saya pun pernah menerima pemberian dari gereja berupa satu paket peralatan mandi, juga sebuah kacamata baca. Dan kacamata itulah yang sangat membantu saya ketika membuka dan membaca Kitab Suci Al Qur'an.Â
Ini semua memang bentuk kebersamaan yang dibina secara bersama-sama pula baik oleh sesama WBP maupun oleh pihak Lapas.
Oh ya, sama seperti masjid yang diperluas dengan biaya infak dari para WBP, gereja pun mengembangkan bangunannya atas inisiatif para jemaatnya. Kini Gereja tampak indah dengan dilengkapi pendingin ruangan.
Mereka yang umat Katolik membuat Gua Maria dengan Patung Bunda Maria yang indah di salah satu pojok bagian luar gereja. Di tempat itulah setiap hari bisa disaksikan beberapa orang dengan khidmat "berbicara" kepada Bunda Maria.
Dalam konteks agama Islam, Bunda Maria adalah wanita istimewa. Wanita suci yang melahirkan Nabi Isa Alaihissalam, salah satu nabi yang istimewa pula dalam ajaran Islam.Â
Kami menyebut Bunda Maria dengan Maryam yang diabadikan menjadi nama salah satu surar dalam Kitab Suci Al Qur'an yaitu Surat ke 19 Juz 16 yang terdiri dari 98 ayat. Dan Maryam itu menjadi nama yang diberikan kakek saya kepada ibu saya, wanita yang sangat saya cintai.
Mungkin karena ini saya sangat mengagumi Maryam yang melahirkan Nabi Isa Alaihisalam. Dan mungkin karena itu pula saya cukup familier dengan sosok Bunda Maria dalam konteks Katolik. Setidaknya saya hafal dengan tanggal 8 September sebagai Pesta Kelahiran Bunda Maria.
Saya masih ingat betul kepada Patung Bunda Maria yang dibuat di Meksiko yang dibawa sahabat saya yang berasal dari Kupang pada tahun 1999. Dan saya termasuk yang paling awal melihat patung itu ketika tiba di Jakarta. Mungkin bukan sebuah kebetulan jika Allah SWT menakdirkan saya dilahirkan di RS Santo Yusuf, nama suami dan pelindung Bunda Maria.
Bagi saya mengagumi Maryam dalam konteks Islam dan menghormati Bunda Maria dalam konteks Katolik adalah bentuk kecintaan saya kepada Sang Maha Pencipta.Â
Juga bentuk penghormatan saya kepada saudara-saudara saya Umat Kristiani, seperti juga saya memberikan penghormatan kepada pemeluk agama lainnya di negeri yang sangat saya cintai ini.
Saya mengagumi ritual Nyepi dalam Hindu Bali yang menghadirkan suci saat menginjak hari pertama di Tahun Baru Saka. Saya mengagumi Candi Borobudur yang menjadi salah satu puncak peradaban dalam agama Budha. Dan saya mengagumi Imlek dalam konteks Kong Hu Cu dengan segala filosofi yang menyertainya.
Apapun itu, saya seorang Muslim yang hanya bisa berupaya menjadi muslim yang baik sesuai ajaran Islam, agama yang saya anut. Penghormatan saya kepada pemeluk agama lain termasuk ajaran agama yang diyakininya sama sekali tidak mendegradasi keyakinan saya kepada ajaran agama dan aqidah Islam.
 Salam. Winardi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H