Lanjutan kisah nyata Kang Win di penjara. Silahkan ikuti akun Inspirasiana ini untuk membaca bagian berikutnya.Â
Siapa Takut COVID-19? (Melawan Dengan Sabar, Bagian 10)
Pada hari Rabu, 8 September 2021 sebuah berita menyeruak menggemparkan seisi Lapas Porong. Lapas Kelas 1 Tangerang mengalami Kebakaran.
Saya bisa membayangkan betapa beratnya tanggung jawab seorang Kepala Lapas (Kalapas) beserta jajarannya mengelola apa yang menjadi lingkup tugasnya. Saya kira ini berlaku untuk semua lapas di Indonesia tanpa memandang klas lapas tersebut.
Kapasitas yang berlebih menjadi akar masalah yang dihadapi umunya para pengelola lapas. Kejadian kebakaran yang menimpa Lapas Tangerang itu yang membawa korban jiwa lebih dari 40 orang adalah contoh nyata dari masalah over kapasitas ini.Â
Bayangkan puluhan orang berebut keluar dari satu pintu kamar dan pada saat bersamaan ratusan orang berusaha keluar dari pintu wing dan juga pintu blok.
Dalam skala yang lebih kecil saya sendiri pernah mengalaminya. Kejadiannya ketika tetangga kamar saya, sesama kamar kecil yang sedang dilakukan pengecatan ulang.Â
Ada 3 orang napi yang bekerja. Gara-gara salah seorang menyalakan korek untuk menyulut rokok, tiba-tiba api dari korek menyambar galon cat dan menimbulkan ledakan hebat.
2 orang tewas dan satu korban mengalami luka bakar serius. Kejadian terjadi pada siang hari saat sebagian besar napi berada di luar kamar, tapi sudah membuat kepanikan hebat.Â
Kejadian di Lapas Tangerang tersebut terjadi di malam hari saat semua napi ada di dalam kamar dan semua kamar dalam keadaan dikunci. Bisa dibayangkan bagaimana kepanikan yang luar biasa terjadi.
Sangat berat memang tanggung jawab yang menjadi beban para pengelola lapas. Untuk hal ini terus terang saya harus angkat topi kepada mereka para pengelola lapas.Â
Terlepas dari adanya beberapa kasus yang melibatkan segelintir pimpinan lapas, saya berani memberikan apresiasi tinggi khususnya kepada jajaran Lapas Porong tempat saya 'mondok'.
Dalam mengelola biaya hidup WBP misalnya, saya menyaksikan perbaikan-perbaikan terus dilakukan. Terlepas dari kuantitas dan kualitas makanan yang jauh dari kebutuhan nutrisi normal, namun itu sudah jauh melampaui tingkat kelayakan bila dikaitkan dengan anggaran biaya makan dari negara yang hanya Rp. 20.000 per kepala. Tentang ini sudah saya ulas dalam artikel sebelumnya.
Beban kerja para pengelola lapas bertambah berat dengan munculnya wabah korona (COVID-19).Â
Lapas dengan kondisi over kapasitasnya menjadi kluster yang sangat potensial untuk terjadinya penularan dalam skala tinggi.
Saya jadi teringat di saat awal pandemi ketika pemerintah mewacanakan 'pembebasan' bagi napi berusia lanjut banyak pegiat anti korupsi yang menentangnya karena akan membuat banyak napi Tindakan Pidana Korupsi terkena pembebasan itu.
Salah satunya ialah Najwa Shihab yang berteriak lantang bahwa napi Tipikor tidak termasuk kelompok yang potensial terkena penularan. Alasannya napi Tipikor itu dipenjara dalam kondisi nyaman, satu orang satu kamar, tidak mengalami situasi over kapasitas.
Najwa benar karena yang dilihatnya hanya Lapas Sukamiskin yang memang desain lapasnya satu orang satu kamar. Tapi dia tidak tahu (tapi sangat mungkin pura-pura tidak tahu), bahwa lapas semacam Sukamiskin itu hanya satu dan satu-satunya di Indonesia.
Di lapas lainnya sebagian besar napi Tipikor berada dalam kamar besar dengan 8-12 penghuni kamar. Memang tidak terlalu berdesakan dibandingkan kamar-kamar pada umumnya.
Saya teringat pula sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat pegiat anti korupsi merilis daftar napi Tipikor yang akan bebas jika kebijakan pembebasan napi terkait pandemi jadi dilakukan. Dan saya menjadi saksi mata atas wafatnya salah satu nama dari daftar itu yang meninggal dunia di lapas dalam status positif COVID-19.
Almarhum hanyalah satu dari sekian banyak WBP di Lapas Porong yang meninggal dalam status positif COVID-19. Sementara puluhan lainnya yang status positif kemudian dinyatakan sembuh.
Pihak lapas sungguh telah bekerja sangat keras untuk menangkal dan mengendalikan paparan COVID-19 ini. Mengampanyekan penerapan protokol kesehatan, melakukan tracing ketika ada yang dinyatakan positif, dan melakukan isolasi bagi yang termasuk kontak erat. Lapas juga menutup kunjungan, dan kegiatan ibadah di masjid dan gereja.
Untuk kepentingan ini pihak lapas secara berkala membagikan masker kepada seluruh WBP. Juga menyelenggarakan vaksinasi COVID-19 secara lengkap (dosis kesatu dan dosis kedua).
WBP adalah sebuah komunitas yang tidak mudah diatur dan diarahkan, sehingga menyulitkan pihak lapas dalam hal pengendalian penyebaran COVID-19. Ada beberapa faktor yang menjadi penyebabnya.
Pertama, sikap tidak mau diatur itu sendiri yang menjadi tabiat sebagian besar WBP.
Kedua, adanya kelompok WBP yang yakin dengan teori konspirasi yang antara lain menganggap COVID-19 itu sebenarnya tidak ada.
Ketiga, ada kelompok yang setuju dengan idiom "takutlah kepada Allah jangan takut kepada COVID-19". Kelompok inilah yang sangat berbahaya karena mengaitkan COVID-19 dengan agama namun dengan persepsi yang keliru (untuk tidak mengatakan salah).
Menjadi berbahaya juga karena mereka dari kelompok yang umumnya punya tingkat intelektual yang relatif tinggi sehingga dengan mudah bisa mempengaruhi WBP lainnya.Â
Saat masjid masih buka misalnya, mereka tetap bersalaman setelah selesai salat atau duduk bergerombol saat menunggu waktu salat tiba meski corong masjid berulang kali mengingatkan untuk menjalankan protokol kesehatan. Dan dari kelompok inilah sebagian besar kasus positif ditemukan di awal-awal pandemi, termasuk satu orang meninggal dunia.
Salam. Winardi.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H