Mohon tunggu...
Inspirasiana
Inspirasiana Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Kompasianer Peduli Edukasi.

Kami mendukung taman baca di Soa NTT dan Boyolali. KRewards sepenuhnya untuk dukung cita-cita literasi. Untuk donasi naskah, buku, dan dana silakan hubungi: donasibukuina@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Kisahku di Penjara, Menikmati Kebersamaan (Bagian 5)

4 Maret 2022   07:14 Diperbarui: 4 Maret 2022   15:02 414
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kelanjutan dari bagian sebelumnya, Menjadi Pak RT. Kisah bagian kelima dari diary Kang Win Melawan dengan Sabar ini bertajuk Menikmati Kebersamaan.

*

Hari Jumat, 19 Januari 2018. Setelah melewatkan hari Jumat minggu sebelumnya tanpa salat Jumat, hari itu saya diizinkan bisa mengikuti salat Jumat di Masjid Kejati. Sebuah masjid yang cukup besar dan megah, menghadap langsung ke Frontage Road A. Yani.

Masjid ini terletak di pojok kiri bagian depan areal kantor Kejaksaan Tinggi. Berada persis di samping gerbang utama yang dilengkapi pos penjagaan. Di pos penjagaan inilah saya mengikuti salat Jumat. Meski terasa kurang afdal, tidak mengapalah daripada tidak salat Jumat sama sekali.

Selama beberapa Jumat kami Salat Jumat di situ secara bergiliran. Hanya empat orang setiap kali salat Jumat yang diizinkan mengikutinya dengan alasan keterbatasan pengawalan. Inilah istimewanya kami, salat Jumat saja dilakukan dengan pengawalan.

Ada cerita lucu tentang salat Jumat di masa awal-awal kami "berkamar" di Rutan Kejati ini. Seperti sudah saya ulas di atas, di awal-awal kami Salat Jumat di Masjid secara bergiliran, empat orang tiap kali Salat Jumat.

Itu merupakan hasil pendekatan kami kepada pihak Kejati. Pihak Kejati mengizinkan dengan catatan setiap dua orang akan mengenakan borgol bersama saat pergi ke masjid dan kembali ke tahanan. Kami pun setuju. Tak apalah diborgol asal bisa salat Jumat.

Maka setiap berjalan ke masjid kami bergandengan tangan karena tangan kami disatukan oleh borgol. Awalnya kami tutupi tangan kami itu dengan sajadah agar tidak terlihat oleh orang lain.

Namun kami berpikir, untuk apa juga ditutupi toh hanya ketemu orang-orang Kejati yang sudah pasti tahu bahwa kami ini tahanan. Dan bukankah kami salat di Pos Penjagaan, tidak di dalam Masjid sehingga tidak bertemu jamaah umum.

Saya harus berterima kasih kepada makhluk yang bernama borgol. Pertama, secara fisik borgol telah menyatukan tangan kami. Saat diborgol itu kami terikat satu sama lain. Dan itulah yang kemudian mengikat kami, menyatukan kami secara emosional. Sampai sekarang, kami masih terus saling berhubungan meski secara fisik kami berjauhan tanpa melihat lagi kasus apa yang menyeret kami ke penjara.

Kedua, bagi saya pribadi dengan borgol itu saya terus dapat kesempatan salat Jumat. Ada beberapa orang yang tidak mengambil jatah giliran salat Jumat karena enggan mengenakan borgol.

Jatah giliran orang-orang inilah yang saya ambil sehingga bisa rutin Salat Jumat di masjid sampai kemudian kami bisa menyelenggarakan sendiri di dalam rutan.

Saat jumlah tahanan sudah cukup banyak, waktu itu sekitar 25 orang, kami memutuskan untuk usul agar kami bisa menyelenggarakan salat Jumat di Rutan. Usulan kami disetujui, pihak Kejati bersedia memfasilitasi kedatangan imam/khatib dari luar.

Persoalan muncul, karena ada sebagian tahanan yang berpegang kepada pendapat ulama yang mensyaratkan Salat Jumat minimal harus diikuti 40 jamaah, sedangkan kami hanya 23 orang (2 orang lagi non-muslim).

Akhirnya pihak Kejati mengerahkan seluruh staf rutan plus beberapa staf kejati untuk salat Jumat di Rutan sehingga salat Jumat bisa berlangsung dengan baik diikuti lebih dari 40 jamaah. Kami yang muslim akhirnya bisa menyelenggarakan salat Jumat sendiri di dalam rutan.

Bagaimana dengan yang non muslim yang hanya 2 orang penganut Kristen Protestan? Kami tidak bisa apa-apa, karena dengan jumlah itu pihak Kejati belum memberikan perhatiannya. Baru ketika saudara-saudara kami yang Kristiani sudah mencapai 5 orang, kami meminta izin untuk bisa menyelenggarakan ibadah bersama bagi umat Kristiani.

Mereka dengan intens berkomunikasi dengan pihak rutan dan Kejati sehingga akhirnya pihak Kejati mau memfasilitasi kehadiran pendeta dan beberapa jemaat dari luar untuk ibadah minggu.

Persoalan juga muncul karena dari 5 orang itu, 4 orang pemeluk Protestan dan 1 yang lainnya Katolik. Saya tidak sampai tahu bagaimana praktik ibadah mereka dengan mereka berlima bersama-sama menjalankan ibadah minggunya.

Ketika jumlah tahanan semakin banyak, dan kebetulan bertambah pula yang Umat Kristiani, maka kemudian mereka bisa berbagi waktu antara ibadah minggu pemeluk Kristen Protestan dan yang Katolik. Sungguh saya sangat bersyukur dalam kondisi serba terbatas kami bisa menjalankan kewajiban ibadah menurut agama kami masing-masing.

Kami bisa saling mendukung, meski kami semua baru di tempat itu saling bertemu untuk pertama kali. Saat Idul Fitri dan kami menyelenggarakan Salat Id di dalam rutan.

Saudara-saudara kami yang non-muslim ikut terlibat kesibukan mempersiapkan perayaan Idul Fitri itu. Saat kegiatan berlangsung, salah satu dari mereka menjadi fotografer dan cameraman dadakan mengabadikan momen istimewa itu.

Demikian juga saat Natal. Meski kami yang muslim tidak menyaksikan dari dekat Misa Natal dan ibadah lainnya yang mereka lakukan, kami turut bahagia bersama mereka.

Seperti juga saat Idul Fitri dan Idul Adha, pada saat natal itu kami tanpa kecuali, semua secara bersama-sama menikmati sajian makanan sederhana yang dibawakan keluarga masing-masing.

Momen-momen seperti itu terasa istimewa, karena semua dari kami menjadi pengalaman pertama menjalaninya di penjara. Ini akan terasa berbeda jika dibandingkan dengan lapas yang sebagian besar penghuninya telah berada di tempat itu dalam beberapa tahun, sehingga merayakan hari raya keagamaan menjadi hal yang biasa-biasa saja. Salam.


Winardi untuk Inspirasiana

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun