Lagi pula bisa bikin pembaca ngakak dan kemudian berkerut kening berlama-lama. Kalaupun benar ada, tentu ini semua bukanlah tarif resmi dari Rutan atau Kejati, tetapi sepenuhnya permainan oknum-oknum petugas.
Dengan previlege sebagai "Pak RT" saya bisa "berkamar" di kamar A tanpa uang sepeserpun. Pertama kali saya hanya berdua dengan anak seorang mantan pejabat tinggi Kejaksaan Agung. Kemudian berdua dengan mantan Kepala Daerah, lalu bertambah menjadi 3 orang dengan masuknya salah seorang pengusaha terkaya di salah satu kota.Â
Setelah pengusaha kaya ini "dilayar" ke NN, masuklah bos salah satu perusahaan dari sebuah grup yang dimiliki 2 orang terkaya di Indonesia.
Bagi saya, yang notabene "koruptor kere", lebih tepatnya "koruptor abal-abal", kondisi tersebut sesuatu yang luar biasa. Bisa dibayangkan "senangnya" saya dipenjara. 15 bulan di Rutan Kejati, berat badan saya naik 7 kg, dari 65 menjadi 72.Â
Ini bertolak belakang dengan saat saya di NN yang pada 2 tahun pertama berat badan turun 17 kg menjadi hanya 55 kg. Sehingga sisa waktu sampai saatnya bebas saya gunakan untuk berusaha meningkatkan berat badan agar saat pulang tidak terlalu kelihatan kurus kerempeng.
Previlege lain yang saya dapatkan sebagai "Pak RT" adalah tidak terkena "dana kelonggaran". Ini adalah dana yang dikumpulkan dari para tahanan untuk mendapatkan beberapa kelonggaran, misalnya kamar tidak dikunci dan bebas menggunakan ruang bersama sampai waktunya istirahat tidur yaitu jam 9 malam.Â
Kelonggaran lainnya adalah penggunaan hp secara bebas terbatas. Artinya hp bebas berada di dalam Rutan selama tidak diketahui pihak Kejati. Berdasarkan kepemilikan hp inilah "dana" itu dipungut setiap seminggu sekali. Berapa nominal yang dipungut dari satu orang ? Cukuplah buat nraktir bakso satu kelas SMP.Â
Seperti juga "tarif kamar", dana ini bukanlah kebijakan resmi dari Kejati selaku pengelola Rutan. Ini merupakan hasil kesepakatan antara petugas rutan (tentu saja oknum) dengan perwakilan para tahanan. Inilah bukti lain dari kehebatan dan kelihaian para "koruptor" itu.Â
Mereka (bisa juga termasuk saya) dalam kondisi terjepit sekalipun mampu menyeret aparat untuk masuk ke dalam permainannya dengan risiko sepenuhnya ada di pundak aparat/petugas. Kondisi-kondisi seperti yang saya gambarkan di atas, bisa saja saat ini sudah tidak ada lagi.
Sebagai Pak RT, saya juga punya privilese untuk bisa leluasa berada di luar area tahanan, yakni di area petugas dan tempat kunjungan. Saya bisa berlama-lama ngobrol dengan petugas maupun staf atau pejabat Kejaksaan sampai larut malam.
Oh ya perlu diketahui rompi oranye itu adalah pakaian "kebesaran" bagi para tahanan kasus tipikor. Yang paling terkenal tentu saja rompi oranyenya KPK. Memang tidak semua rutan atau instansi yang menangani tipikor menggunakan rompi oranye.Â