Samin terdiam. Tidak sepatah kata pun bisa keluar dari mulutnya.
Kalimat terakhir bapaknya dalam sebuah perbincangan sore itu ibarat palu godam yang menghantam batok kepalanya. Menghancurkan impian yang ada di pikirannya.
"Bapak hanya bisa menyekolahkan kamu sampai SMA saja." Kata bapaknya. Pasrah.
Samin tidak berani mempertanyakan kenapa. Dia menyadari betul kondisi ekonomi keluarganya. Bahkan, sebenarnya dia sudah sangat bersyukur bisa sekolah sampai ke jenjang SMA.
Bapaknya hanyalah seorang buruh tani. Mendapatkan upah dari menjual jasa tenaganya. Bekerjanya pun tidak setiap hari. Hanya kalau ada tetangga yang mau menggunakan jasanya.
Mereka memang hidup di daerah tandus. Di wilayah Perbukitan Seribu. Usaha pertanian hanya mengandalkan air tadah hujan.
Curah hujan yang rendah. Sebabkan hanya sedikit tanaman yang bisa tumbuh. Salah satunya pohon jati. Hebatnya pohon jati di wilayah ini terkenal baik kualitasnya. Kayunya kuat.
              *
Samin termenung di bawah pohon jati.
Pikirannya menerawang jauh. Mengenang sulitnya perjalanan pendidikannya. Bukan soal susahnya mengikuti pelajaran, karena dia tergolong anak yang pintar. Akan tetapi menyangkut biaya sekolah.
Dia harus banyak bersyukur bisa menamatkan SMA. Betapa tidak. Orang tuanya harus susah payah membayar uang SPP. Bahkan kadang kala dia harus membantu mencari biaya sekolahnya.
Jika tidak sedang musim tanam. Bapaknya memotong ranting-ranting pohon jati. Mengeringkan di bawah terik matahari. Kalau sudah kering kemudian diikat. Selanjutnya dijual ke pasar.
Sementara Samin dua hari sekali, sepulang sekolah. Dia memanjat pohon jati. Dengan bantuan sebuah galah bambu yang ujungnya diikatkan pisau. Dia memetik daun jati.
Daun-daun jati yang terjatuh. Kemudian dikumpulkan dan diikat. Dia menjualnya ke tukang tempe atau ke warung-warung nasi. Daun jati sangat bagus untuk membungkus tempe atau nasi.
                *
Samin tersenyum haru.
Dari bangku tempat duduk para wisudawan-wisudawati. Dia melihat kedua orang tuanya. Mata mereka berkaca-kaca. Pastilah orang tuanya bangga. Anaknya diwisuda sebagai sarjana.
Kalau saja waktu itu dia tidak berani menyampaikan keinginannya untuk melanjutkan kuliah kepada bapaknya. Momen seperti ini pastilah tidak akan terjadi.
Dia ingat setelah perbincangan sore itu. Esoknya guru BK datang ke rumah. Menyampaikan surat panggilan dari perguruan tinggi negeri. Samin diterima menjadi mahasiswa melalui jalur PMDK (Penelusuran Minat dan Kemampuan). Penerimaan mahasiswa baru dengan seleksi prestasi akademik.
"Kalau kamu tidak mengambilnya, sayang. Ini penghargaan atas prestasimu." kata guru BK.
Setelah itu dia memberanikan diri berbicara serius dengan bapaknya. Beruntung bapaknya bisa memahami situasinya. Orang tua siap mengiringi dengan doa. Sementara Samin harus berjuang sendirian mengejar impiannya.
Untuk menghemat biaya, Samin dititipkan kepada saudara jauh bapaknya. Lumayan dia tidak perlu membayar biaya kos dan makan. Hanya saja dia harus membantu pekerjaan saudara jauh bapaknya tersebut.
Sebelum atau sepulng kuliah Samin menjaga toko. Melayani pembeli. Dari pagi sampai malam. Jika pembeli sepi dia sambil belajar atau mengerjakan tugas-tugas kuliahnya.
Untuk membayar uang semesteran, karena dia mendapatkan beasiswa 50%, tiap semester bapaknya menebang satu pohon jati. Menjualnya ke pedagang kayu dan mengirimkan ke anaknya.
Kerja kerasnya akhirnya membuahkan hasil. Samin yang anak kampung, anak seorang buruh tani itu, meraih gelar sarjana. Orang pertama di kampungnya yang menyandang titel sarjana.
Tidak ada yang tidak mungkin. Semua mungkin saja terjadi dengan usaha keras dan berserah diri kepada Tuhan.
Jkt, 22122. Mas Sam untuk Inspirasiana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H