Berkaca pada pengalamanku saat gempa Jogja 2006, banjir info tsunami dan gempa ini bisa menimbulkan ketakutan dan kepanikan yang tidak perlu. Apalagi ketika pesan yang diteruskan bukanlah dari saksi mata atau dari media massa dan lembaga tepercaya.Â
Mengenali info tepercaya
Tidak sukar mengenali informasi tepercaya. Jika Anda mengenal sendiri saksi mata, tentu boleh percaya pada kesaksiannya. Jika Anda mendapat pesan, pastikan ada link (utas) berita media massa dengan reputasi baik.Â
Judul-judul bombastis, misalnya: tsunami setinggi pohon kelapa mengancam, bisa kita abaikan. Fokus pada update berita dari lembaga resmi semacam BMKG dan Basarnas.Â
Kepanikan yang tidak perlu bisa menimbulkan kecelakaan lalu-lintas ketika orang menyelamatkan diri. Persis yang terjadi di DIY kala gempa tahun 2006, di mana saya menjadi penyintas (survivor).Â
Waktu itu situasi sangat kacau karena Gunung Merapi di utara Jogja juga sedang aktif. Sebagian warga Jogja mengira, gempa itu dari aktivitas Merapi sehingga sebagian warga menyelamatkan diri ke arah selatan.
Sementara itu, arus warga dari selatan (kawasan terdampak parah di Bantul) menuju ke utara. Jadinya kacau balau!
Apalagi ada kabar tidak jelas bahwa tsunami sudah menerjang. Padahal yang terjadi adalah ada pipa air yang bocor. Wah, payah betul.Â
Siapa yang biasa memancing di air keruh?
Dalam situasi bencana seperti gempa dan potensi tsunami, ada saja oknum yang memancing di air keruh. Pertama, media abal-abal. Media yang hanya mengejar klik akan memasang berita yang bombastis dan memancing ketakutan.Â
Kedua, oknum pencuri. Bisa saja oknum pencuri memanfaatkan situasi dengan menakuti warga untuk semakin lari jauh, padahal peringatan potensi tsunami sudah dicabut.Â