Pengalaman bertugas di sebuah pulau di luar Jawa membuat mataku terbuka akan kenyataan pahit. Di kampung-kampung, masih ada penderita sakit jiwa yang dipasung.Â
Menurut data Human Right Watch, di Indonesia diperkirakan ada sekitar 57 ribu orang yang dipasung karena stigma sosial. Jumlah pasti sulit didapat karena sulitnya akses ke pelosok Nusantara ini. Belum lagi, ada kelompok warga dan keluarga yang sengaja menyembunyikan pasungan dari pantauan orang luar.Â
Bagaimana edukasi agar penderita sakit jiwa tak lagi dipasung di kampung-kampung pelosok Nusantara? Inilah kisah nyataku dan langkah yang bisa kita lakukan.
Kakak-beradik penderita sakit jiwa
Tono dan Tini, sebut saja demikian, adalah kakak-beradik penderita gangguan sakit jiwa. Usia mereka sekitar 35-40 tahun. Sehari-hari mereka dirawat oleh ayah mereka yang sudah lama menduda.Â
Tono sebenarnya sempat menjalani hidup normal sebagai petani gurem. Akan tetapi, suatu hari dia tiba-tiba mengamuk. Dua warga kampung dilukainya sehingga warga memutuskan untuk memasung Tono. Menyusul kakaknya, Tini, yang sudah lama dipasung karena suka mengganggu ketenteraman kampung.
Stigma kutukan
Tono dan Tini adalah anak kedua dan ketiga dari empat bersaudara. Satu saudara mereka, sebut saja Tondo, sudah meninggal saat lepas dari pasungan dan tenggelam di sungai beberapa tahun silam.
Hanya adik bungsu, sebut saja Sari, yang sehat. Sari bekerja sebagai guru di kampung lain. Masyarakat kampung setempat menganggap, si Sari selamat dari kutukan karena dia tinggal di kampung lain.Â
Seandainya Sari tetap tinggal di kampung, dia pasti juga akan jadi gila dan pasti akan dipasung juga seperti tiga saudara kandungnya.Â