Mohon tunggu...
Inspirasiana
Inspirasiana Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Kompasianer Peduli Edukasi.

Kami mendukung taman baca di Soa NTT dan Boyolali. KRewards sepenuhnya untuk dukung cita-cita literasi. Untuk donasi naskah, buku, dan dana silakan hubungi: donasibukuina@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Kisah Unik Santri Berjumpa Calon Pastor Katolik dan Orkes Seminari Tampil di MTQ

27 Oktober 2021   11:09 Diperbarui: 27 Oktober 2021   11:09 745
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bertahun silam, aku sebagai calon pastor Katolik menjalani pendidikan awal di Salatiga, Jawa Tengah. Kota yang indah dan toleran. Kota penuh kedamaian.

Kami tinggal di sebuah biara dekat kawasan sebuah kampus swasta terkenal di Salatiga. Guru-guru kami tak hanya beragama Katolik. Ada pula guru yang beragama Kristen. Pula karyawan dan karyawati ada yang beragama Islam. 

Salah satu pengalaman unik yang tidak akan aku lupakan adalah kala kami, para calon pastor Katolik, berjumpa dengan para santri dalam silaturahmi dan pertandingan olah raga.

Berkat guru Kristen

Perjumpaan kami, para calon pastor Katolik, dengan para santri di sebuah pondok pesantren di Salatiga terjadi berkat guru beragama Kristen.

Ibu Guru kami yang beragama Kristen itu mengampu kursus hukum sipil bagi calon pastor Katolik dan juga para santri di suatu pondok pesantren di dekat Pasar Gedangan Salatiga.

"Mau tidak kunjungan dan pertandingan persahabatan bersama para santri?" tanya Ibu Guru kami kala itu. Kami semua yang adalah  para remaja cowok nan ganteng dengan semangat mengiyakan. 

Alun-Alun Pancasila Kota Salatiga-Tribunjatengnews.com
Alun-Alun Pancasila Kota Salatiga-Tribunjatengnews.com

Jalan kaki demi silaturahmi

Kami berangkat bersilaturahmi ke pondok pesantren dengan berjalan kaki. Latihan untuk menjadi gembala umat yang siap melayani di tengah medan apa pun juga. 

Meskipun agak capek juga, kami tetap semangat berangkat guna bersilaturahmi. Setiba di Pondok Pesantren tersebut, kami diajak untuk melihat sendiri kompleks bangunan pondok untuk para santri. 

Aku teringat bangsal besar yang dulu aku tempati selama pendidikan seminari menengah di Magelang. Waktu di seminari menengah itu, kami tidur dalam satu bangsal besar tanpa sekat. Rekan-rekan santri lebih beruntung karena tinggal sekamar sekitar berempat atau berlima. 

Sama seperti di seminari kami di Magelang dan biara kami di Salatiga, kesederhanaan hidup menjadi hal yang ditekankan dalam pendidikan di pesantren itu. 

Menjadi insan beriman dan menjadi teladan bagi umat atau jemaat memang menuntut penanaman kesederhanaan hidup. Juga disiplin dan tahu artinya hidup prihatin dalam hidup sehari-hari.

Rekan-rekan santri dan santriwati bangun sedikit lebih pagi daripada kami di biara. Maklum saja, ada salat subuh yang perlu dijalankan dengan persiapan yang memadai. Sama seperti kami perlu persiapan diri sebelum ekaristi dan doa pagi di biara. 

Para santri dan santriwati juga seperti kami, calon pastor yang dididik untuk mau berkotor tangan dalam pekerjaan harian: berkebun, menyapu, mengepel, dan sebagainya. Nilai kemandirian dan tak cengeng jauh dari keluarga sama-sama menjadi penekanan.

Setelah melihat kompleks bangunan, kami berolahraga bersama. Kalah atau menang tak penting. Yang penting adalah keceriaan dalam suasana persaudaraan. 

Tradisi silaturahmi dalam pendidikan calon pemuka agama

Selama aku menjalani pendidikan calon pastor Katolik, tradisi silaturahmi dan dialog antarpemeluk agama aku alami secara intensif.  

Aku masih ingat betul, orkestra Seminari Mertoyudan Magelang pada waktu itu diundang menjadi pengisi acara pembukaan Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) Kabupaten Magelang. 

Agak ganjil juga sih ketika kami tampil di hadapan audiens yang bukan kristiani. Demikian pula hadirin pada waktu itu juga pasti heran melihat orkestra para calon pastor Katolik tampil di pembukaan MTQ.

Seingatku, orkestra seminari kami membawakan lagu klasik dan beberapa lagu nasional pada pembukaan MTQ waktu itu. Para hadirin pun bertepuk tangan setelah penampilan kami. Artinya, kami disambut baik sebagai saudara sebangsa. 

Akhirulkalam, mari kita bersyukur sebagai orang Indonesia. Kita berbeda, tetapi satu juga. Salam persaudaraan dalam kemanusiaan dan kebangsaan. 

Ditulis seorang sahabat untuk Inspirasiana. Artikel berhak cipta.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun