Meskipun agak capek juga, kami tetap semangat berangkat guna bersilaturahmi. Setiba di Pondok Pesantren tersebut, kami diajak untuk melihat sendiri kompleks bangunan pondok untuk para santri.Â
Aku teringat bangsal besar yang dulu aku tempati selama pendidikan seminari menengah di Magelang. Waktu di seminari menengah itu, kami tidur dalam satu bangsal besar tanpa sekat. Rekan-rekan santri lebih beruntung karena tinggal sekamar sekitar berempat atau berlima.Â
Sama seperti di seminari kami di Magelang dan biara kami di Salatiga, kesederhanaan hidup menjadi hal yang ditekankan dalam pendidikan di pesantren itu.Â
Menjadi insan beriman dan menjadi teladan bagi umat atau jemaat memang menuntut penanaman kesederhanaan hidup. Juga disiplin dan tahu artinya hidup prihatin dalam hidup sehari-hari.
Rekan-rekan santri dan santriwati bangun sedikit lebih pagi daripada kami di biara. Maklum saja, ada salat subuh yang perlu dijalankan dengan persiapan yang memadai. Sama seperti kami perlu persiapan diri sebelum ekaristi dan doa pagi di biara.Â
Para santri dan santriwati juga seperti kami, calon pastor yang dididik untuk mau berkotor tangan dalam pekerjaan harian: berkebun, menyapu, mengepel, dan sebagainya. Nilai kemandirian dan tak cengeng jauh dari keluarga sama-sama menjadi penekanan.
Setelah melihat kompleks bangunan, kami berolahraga bersama. Kalah atau menang tak penting. Yang penting adalah keceriaan dalam suasana persaudaraan.Â
Tradisi silaturahmi dalam pendidikan calon pemuka agama
Selama aku menjalani pendidikan calon pastor Katolik, tradisi silaturahmi dan dialog antarpemeluk agama aku alami secara intensif. Â
Aku masih ingat betul, orkestra Seminari Mertoyudan Magelang pada waktu itu diundang menjadi pengisi acara pembukaan Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) Kabupaten Magelang.Â
Agak ganjil juga sih ketika kami tampil di hadapan audiens yang bukan kristiani. Demikian pula hadirin pada waktu itu juga pasti heran melihat orkestra para calon pastor Katolik tampil di pembukaan MTQ.