Akibatnya rasa lelah bisa datang lebih cepat dari biasanya. Bayangkan kalau saya harus mengajar di tiga kelas berbeda, pasti kering lah tenggorokan saya. Tepuk jidat sekali.
Kedua, setiap kelas yang terdiri dari 32 siswa harus dibagi menjadi 2 kelompok belajar guna penerapan protokol kesehatan jaga jarak.Â
Jadi dalam satu kelas hanya terisi 50 persen siswa saja. Akibatnya dalam 1 minggu berjalan, guru harus masuk di kelas yang sama dengan kelompok yang berbeda.Â
Hal ini selain membuat raga lelah, tenggorokan kering juga membingungkan bagi sebagian teman sejawat saya. Terutama bagian kurikulum yang harus membuat jadwal dengan sepantasnya.Â
Bayangkan saja, saya mendapat amanah mengajar di 5 kelas berbeda dalam 1 Minggu. Karena 1 kelas terbagi 2, maka saya harus masuk ke 10 kelas berbeda dalam 1 Minggu. Tepuk jidat dua kali. Tapi Alhamdulillah saya masih kuat hingga saat ini.
Ketiga, adanya pembatasan waktu belajar berimbas pada pengurangan waktu belajar juga. Dulunya satu jam pelajaran berlangsung selama 45 menit. Sekarang hanya tersisa 30 menit saja. Tentu menjadi tantangan berat bagi guru yang mengajar mata pelajaran eksakta seperti saya.Â
Tidak banyak kesempatan untuk dapat menanamkan konsep materi numerik yang menuntut waktu lebih bagi siswa.Â
Rasanya saya selalu kekurangan waktu untuk mengajar di kelas. Alhasil penugasan siswa tak pernah selesai di sekolah. Akibatnya harus dibawa pulang ke rumah sebagai PR yang begitu ditakuti siswa. Tepuk jidat tiga kali.
Beginilah yang dinamakan perubahan, memang sudah beda zamannya. Era pandemi masih menyisakan banyak kemungkinan yang menakutkan bagi kita.Â
Hal ini menjadi tantangan bagi guru dan dunia pendidikannya. Namun di setiap masalah selalu disediakan solusinya, banyak jalan menuju Roma.Â
Banyak cara yang bisa kita terapkan untuk tetap maksimal mengajar di sekolah tanpa mengurangi hak siswa untuk mendapatkan pendidikan yang layak.