Mohon tunggu...
Inspirasiana
Inspirasiana Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Kompasianer Peduli Edukasi.

Kami mendukung taman baca di Soa NTT dan Boyolali. KRewards sepenuhnya untuk dukung cita-cita literasi. Untuk donasi naskah, buku, dan dana silakan hubungi: donasibukuina@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Berbuat Baik Pun Berisiko

6 Oktober 2021   16:39 Diperbarui: 6 Oktober 2021   16:43 242
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar diolah dari postwrap 

Pernahkah di antara kita ketika melakukan satu hal dengan niat baik dan tulus hati, malah menerima ledekan  alih-alih mendapat apresiasi?

Sungguh dunia terasa gelap merasa kecewa. Hati bertanya-tanya. Kenapa tega? Bisa jadi bila tak kuat menahan diri bisa-bisa jadi sakit hati. Benci. Tak sudi melakukannya lagi. 

Ini yang saya alami. Belum lama ini. Saya mengirim gambar kata-kata motivasi karena tahu kondisinya akhir-akhir ini. 

Saya pikir paling tidak bisa menguatkan atau melahirkan semangat untuk terus berjalan di antara kesulitan hidup yang dialami. 

Sebagai teman, saya mencoba untuk sedikit peduli dengan kapasitas yang saya miliki. Karena suka menulis, tentu dengan kata-kata. 

Apa yang terjadi? 

Berselang dua hari baru mendapat tanggapan yang membuat saya menelan ludah sendiri. Iyalah ludah sendiri, masa ludah tetangga?

Karena isinya seperti meledek, rasa menggores hati. Apa saya terlalu sensitif? 

Entahlah. 

Saya terdiam cukup lama. Baca dan baca lagi. Meneliti kembali kata-kata yang ada. Apakah ada yang salah? 

Rasanya ...

Ternyata memang ada. Yakni kehadiran gambar lingkaran kecil berupa tampang saya. Apakah tampang saya menyebalkan? 

Kata-kata motivasi mungkin sudah basi untuk dihayati. Tampang saya lebih enak untuk di-bully. Oh, dirisak. 

Padahal sudah saya pasang dalam bentuk sekadar pemanis bukan untuk jual tampang. 

Namun, harus saya akui ini bagus juga buat introspeksi diri. Jangan jual tampang. 

Di sisi lain kadang kita memang terlalu genit untuk mengomentari hal yang tidak penting daripada yang lebih penting. Tidak berpikir lagi apa yang akan terjadi. Apakah bisa merusak perasaan?

Dalam hal ini, benarlah bahwa diam itu emas. Mungkin bisa lebih berharga. 

Mungkin itu sebabnya, telinga manusia ada dua dan mulut hanya satu. Artinya lebih baik banyak mendengar daripada berbicara. 

Hidup memang penuh risiko. Bahkan suatu perbuatan baik pun berisiko tidak baik. Bukan hanya buat orang lain, tetapi buat diri sendiri. 

Orang lain bisa salah mengerti dengan maksud baik yang ada, akibatnya merusak suasana hati kita. Akhirnya bisa berujung pada akibat yang sama. Kecewa. Sakit hati. 

Bayangkan. Sebuah perbuatan dengan  niat baik pun bisa mengakibatkan saling melukai. Liar biasa. 

Ketakdamaian hidup memang acap kali berawal dari kesalahpahaman. Terlalu banyak pertengkaran atau keributan akibat dari salah paham. 

Tentu kita jangan sampai terjebak dalam kondisi ini. Artinya saat berbuat baik harus siap menerima risiko dengan berlapang dada bila yang menerima tak menghargai. 

Berharap saja suatu hari orang itu akan mengerti dengan niat baik yang ada. Tetaplah bersyukur, walaupun niat baik itu tersembunyi di dasar hari energinya pasti semesta mengetahui. 

Sungguh sayang bila sebuah perbuatan baik harus berbuah sakit hati pada akhirnya. Rugi sekali. 

Sebaliknya yang menerima kebaikan orang lain untuk menahan diri berprasangka buruk atau mengomentari hal yang tidak perlu. Lebih baik fokus dan melihat apa yang tidak terlihat dari sebuah pemberian. 

Karena memang kerap kali ada nilai yang lebih berharga dari wujud sebuah pemberian. Doa dan harapan. 

Yang memberi dengan sukacita, yang menerima dengan lapang dada. Sama-sama bersyukur, bukanlah indah hidup ini? 

Mudah sekali. 

Susahnya, manusia mau lebih  bersusah-susah mencari susah.

@cermindiri 06 Oktober 2021 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun