Mohon tunggu...
Inspirasiana
Inspirasiana Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Kompasianer Peduli Edukasi.

Kami mendukung taman baca di Soa NTT dan Boyolali. KRewards sepenuhnya untuk dukung cita-cita literasi. Untuk donasi naskah, buku, dan dana silakan hubungi: donasibukuina@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Inilah Cara Atasi 4 Kata "Tidak" Penghambat Kita dalam Menulis

2 September 2021   10:14 Diperbarui: 2 September 2021   10:19 231
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cara atasi hambatan menulis - Photo by Suzy Hazelwood from Pexels 

Ada empat kata "tidak" yang sering menjadi penghambat dalam menulis. Apa saja dan bagaimana mengatasinya? Inilah cara atasi 4 kata "tidak" penghambat kita dalam menulis.

Anda tahu empat kata "tidak" yang penulis maksud? Keempat kata itulah yang acapkali menjadi momok bagi penulis. Tidak hanya bagi mereka yang baru mulai menulis, juga bagi sebagian penulis yang sudah berpengalaman.

Nah, apa saja 4 kata "tidak" itu? Mari kita telusuri satu per satu dan kita coba untuk menemukan solusinya. Keempat kata itu memang kerap muncul, tetapi tetap ada jalan keluarnya. Yuk kita mulai.

Pertama, tidak punya gagasan.

Penulis tidak punya gagasan, bagaimana ini? Ya, biasalah, terkadang gagasan itu sulit diperoleh. Mungkin saja tadinya sempat hadir, tapi karena terlambat menangkapnya, lalu gagasan itu menguap begitu saja.

Apa yang bisa dilakukan ketika tidak memiliki gagasan? Salah satu cara yang paling populer adalah dengan membaca. Untuk bisa produktif penulis mesti rakus membaca.

Akan tetapi, ada cara lain yang acapkali penulis lakukan untuk mengundang sang ide itu datang. Caranya adalah dengan menulis. Ya, dengan menulis! Tidak salah lagi.

Kalau tidak ada ide, 'kan tidak mungkin dong kita bisa menulis. Demikian mungkin kata Anda.

Tetapi, coba saja dipraktikkan. Tuliskan saja apa yang terlintas dalam pikiran. Bisa perasaan Anda, bisa pengalaman Anda, atau apa saja yang berkelebat dalam otak Anda. Bisakah? Bisa, pastinya.

Nah, setelah Anda memulai menulis, maka bakal muncul serentetan ide-ide lainnya, susul-menyusul. Persis seperti seekor semut yang menemukan remah-remah, yang kemudian disusul semut-semut lainnya datang untuk mengangkut remah-remah itu ke sarang mereka.

Menulis juga begitu. Sepotong ide kecil yang ditorehkan di awal bisa mengundang ide-ide lainnya yang datang susul-menyusul belakangan. Belum percaya atau belum pernah mencoba? Percayalah dan cobalah.

Kedua, tidak punya waktu.

Ini adalah alasan paling klasik yang sering menjadi dalih untuk tidak menulis. Hal ini sering dikatakan atau dijadikan dalih oleh mereka yang tidak benar-benar kuat moitivasinya untuk menulis atau untuk menjadi penulis.

Kurangnya motivasi menulis atau menjadi penulis akan melahirkan banyak alasan ketika ada orang lain atau penulis lain mendorongnya untuk memulai menulis. Tidak memiliki waktu adalah salah satu alasannya.

Benarkah tidak punya waktu? Atau, apakah karena kurangnya kemauan untuk menulis? Memang, diperlukan kemauan dan tekad kuat untuk menulis dan menjadi penulis. Tidak bisa setengah hati dan setengah usaha. Mesti full spirit. Tanpa itu, maka menghasilkan karya tulis hanya tetap dalam angan-angan tanpa pernah menjadi kenyataan.

Dalam kebanyakan kasus, tidak punya waktu hanyalah dalih belaka. Sebenarnya sesibuk apa pun seseorang, jika ia mempunyai kemauan keras untuk menulis secara konsisten, pasti ia bisa mengatur waktu.

Pertanyaan utamanya adalah, apakah yang bersangkutan menempatkan kegiatan menulis pada prioritas atas? Atau, malah tidak menjadi kegiatan prioritas sama sekali, bahkan tidak ada dalam daftar kegiatan harian.

Nah, kalau hendak menjadi penulis, para penulis senior yang telah banyak menghasilkan karya menyarankan kita untuk mengalokasikan waktu untuk menulis. Sebisanya setiap hari atau dua hari sekali menghasilkan sebuah karya. Setidaknya sekali dalam seminggu bisa menghasilkan satu artikel.

Ketiga, tidak mau repot dengan teori menulis.

Menulis itu teori, praktik, dan seni. Bagaimana pertaliannya? Setiap penulis, mau tak mau, mesti belajar juga tentang teori menulis. Ia tidak bisa melabrak begitu saja aturan dalam dunia tulis-menulis.

Ia harus membekali diri dengan perbendaharaan kata. Ia mesti belajar membuat kalimat yang efektif, membuat peralihan antarkalimat, mempedomani ejaan, berpegangan pada kata-kata baku, memiliki penalaran yang baik, dan seterusnya. Dengan pegangan itu, ia akan bisa menuangkan idenya dengan baik.

Teori menulis bisa dipelajarinya sambil praktik menulis. Belajar dari teori, belajar dari praktik sekaligus. Terdapat banyak sekali buku pelajaran bagaimana menulis yang efektif dan enak dibaca.

Jadi, kita tidak bisa menulis tanpa memahami teorinya. Sebaliknya, jangan juga lantaran suntuk mempelajari teori, kita lantas tidak kunjung menulis. Jadi, pelajari teori dan bersamaan dengan itu, menulislah.

Menulis adalah praktik. Praktik menulis sangat penting karena menulis adalah sebuah keterampilan berbasis ilmu pengetahuan.

Dan, jangan lupa, gabungan teori dan praktik akan melahirkan seni menulis yang sangat personal sifatnya.  Begitulah pertaliannya.

Keempat, tidak mau belajar.

Menulis memaksa kita untuk rajin belajar. Bukan hanya siswa atau mahasiswa yang mesti rajin belajar. Penulis yang sudah bukan orang sekolahan atau kuliahan pun harus melakukannya.

Dengan belajar, maka penulis akan dapat memetik saripati kehidupan dari berbagai sumber dan pengalaman. Itulah yang menjadi bahan berharga untuk ditulis.

Adakah penulis yang tidak suka belajar? Membaca, misalnya? Atau, belajar dengan mengamati lingkungan sekitarnya? Senang menulis tetapi tidak mau belajar. Menurut Anda, apa yang kira-kira akan terjadi padanya?

Tidak pelak lagi, penulis seperti ini tidak akan lama umur kepenulisannya. Kendati pun ia masih berusaha terus menulis, namun konten tulisannya akan dari itu ke itu saja, kering-kerontang. Bagaimana ia bisa menimba air dari sumur yang kering?

Oleh karena itu, menjadi kewajiban bagi siapa pun yang membulatkan hati menjadi penulis harus bersedia belajar. Ya, belajar seumur hidup.

Kelihatannya terlalu ideal? Ya, memang, seyogianya demikian jika kita ingin tetap bisa berkarya dengan kualitas yang semakin baik.

Jika ingin tanaman hijau, maka seharusnya tetap disirami, bukan? Jika ingin mendapatkan ide, maka kita mesti "menyirami" pikiran kita diri kita dengan informasi dan pengetahuan yang berguna.  

Jangan berharap tanaman akan tumbuh subur, berbunga, dan berbuah, jika kita tidak menyiraminya bahkan sejak awal ditanam. Bagaimana dengan Anda?

(I Ketut Suweca untuk Inspirasiana).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun