Foto di atas adalah suasana warung nasi kuning yang terletak di Jalan Cempedak Kelurahan Malagusa Distrik Aimas Kabupaten Sorong. Pemiliknya bernama Ibu Irah.Â
Saya biasa menyapanya dengan sebutan "Uwa" (panggilan untuk kakak perempuan atau laki-laki dari ibu saya yang berasal dari daerah Ciamis, Jawa Barat).
Ibu Irah sudah berjualan nasi kuning kurang lebih selama 5 -- 6 tahun. Beliau memiliki tiga orang anak. Satu orang putri dan dua orang putra. Kedua anaknya telah berkeluarga dan tinggal terpisah. Ibu Irah tinggal bersama putra bungsunya di sebuah rumah sederhana peninggalan mendiang suaminya.
Semenjak kepergian sang suami menghadap Sang Pencipta pada tahun 2015, Ibu Irah akhirnya mengambil alih tanggung jawab sebagai kepala keluarga untuk mencari nafkah. Kendatipun Ibu Irah selalu mendapat perhatian secara morel maupun materiel dari kedua anaknya yang telah berkeluarga, beliau enggan berpangku tangan.
Ia mengumpulkan segala kekuatan untuk melanjutkan kehidupan meski kepedihan kerap datang membayang. Dengan dukungan keluarga, ia memutuskan untuk memulai usaha dengan berjualan nasi kuning.
Seperti menu nasi kuning pada umumnya, nasi kuning Bu Irah terdiri dari nasi kuning gurih dengan aroma rempah, mie goreng, ikan suir saos, telur saos, kering tempe dan tambahan sambal serta kerupuk sebagai pelengkap.
Di tengah menjamurnya penjual nasi kuning di tempat tinggal kami tidak membuat Bu Irah patah semangat. Ia percaya bahwa rejeki telah diatur oleh Sang Pemilik hidup. Manusia hanya dapat berikhtiar dengan bekerja dan berdoa.
Apalagi pada saat itu beliau masih memiliki putra bungsu yang duduk di bangku SMK. Tentunya banyak biaya yang diperlukan guna membiayai pendidikkannya hingga selesai.
Setiap hari Bu Irah bangun pada jam 04.00 pagi untuk mempersiapkan menu nasi kuning yang akan dijual. Nasi kuning sudah dapat dinikmati mulai pukul 07.00 pagi dengan harga Rp 7.000,- hingga Rp 15.000,- per porsi sesuai dengan permintaan pembeli dan pilihan lauk tentunya.
Di tengah situasi pandemi saat ini, mau tidak mau kondisi tersebut berimbas pula pada usaha nasi kuning Bu Irah. Meningkatnya harga bahan pokok dan menurunnya minat pembeli, membuat ibu Irah harus mengurangi volume penjualannya agar selalu habis dan tetap dapat berjualan setiap hari.
Walau dengan keuntungan yang tidak seberapa, bersyukur adalah kunci utama. Ia hanya berharap selalu diberi sehat dan kuat. Apabila jualannya tidak habis, maka ia akan membagikannya kepada sanak saudara atau dikonsumsi sendiri.
Dari kisah kehidupan ibu Irah, saya belajar arti kesabaran, ketabahan dan keikhlasan. Berpangku tangan dan berkeluh kesah bukanlah solusi menjalani kehidupan. Dengan bersyukur berapa pun rejeki yang kita terima akan terasa cukup dan membuat hati bahagia.
Semoga kisah ini bermanfaat dan menginspirasi kita agar tidak mudah berputus asa menghadapi kesukaran hidup yang mendera.
***
Ditulis oleh Radian Kristiani untuk Inspirasiana guna mengikuti lomba mini "Sejuta Kebaikan untuk Pedagang Kecil".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H