Pernahkah Anda menyaksikan seorang pedagang dengan sengaja memukul-mukulkan uang ke barang dagangan? Tidak hanya sekali, berkali-kali. Bahkan bila perlu, ke semua barangan dagangan. Tidak ada yang terlewatkan.
Mau tahu alasannya? Mari simak jawaban seorang pedagang yang baru siang ini saya wawancarai. Saya memang akrab dengannya. Seorang ibu paruh baya berkulit hitam dan berambut berombak. Beliau menjual nasi di warungnya.
Sebagian percakapan ini sebetulnya berlangsung dalam Bahasa Jawa. Agar lebih gampang dimengerti, saya Indonesiakan semua.
“Mana ibu, Mbak?” tanya saya pada asisten Beliau. Sudah cukup lama saya tidak makan di warungnya. Karena PPKM darurat kemarin salah satunya.
“Ada itu di belakang,” jawab asisten itu. Sembari saya bercakap menu apa saja untuk lauk makan siang, saya beranjak ke dapur. Benar, si ibu lagi duduk dengan santai.
“Bagaimana, Bu, kabarnya? Sudah lama ini tidak bertemu,” sapa saya hangat. “Iya, nih, Mas. Baik, Alhamdulillah. Ke mana saja, kok jarang kelihatan?” jawab si ibu begitu sumringah.
Sumringahlah, langganannya datang kembali. Wkakaka….
Menu pun selesai dipilih. Saya menyantap dengan lahap. Sebetulnya sudah telat, karena lewat jam makan siang. Pada akhir makan, saya berbasa-basi melepas rindu. Teringatlah saya akan sesuatu yang biasa saya lihat tetapi tidak tahu apa sebab itu sering dilakukan.
“Ibu tidak pukul-pukulkan uang ke piring makanan?” tanya saya ke ibu.
“Sudah, Mas, tadi pagi.”
Karena didorong rasa penasaran, saya bertanya kembali.
“Emang ngaruh ya, Bu? Buat apa sih dipukul-pukul begitu? Saya juga sering lihat orang lain melakukan hal sama.”
Ibu itu tersenyum sebentar. Lantas ia menjawab.
“Ya, sudah kebiasaan sih, Mas. Biar laris manis. Penjual kan ingin dagangannya laku.”
“Benar-benar laku karena dipukul?” tanggap saya.
Ibu itu tertawa.
“Sebenarnya mitos sih. Tetapi, mau percaya atau tidak, kan tidak salah juga dilakukan. Mana tahu benar-benar laku.”
Wkakakakaka… Saya tersenyum ringan dan tertawa terbahak-bahak dalam hati. Uang yang dipukulkan pun biasanya tidak sembarangan. Tidak pernah seribu atau dua ribu. Minimal dua puluh ribu ke atas.
“Ya, semoga penjualannya jadi seperti itu, Mas. Dapat banyak gara-gara uang yang dipukul juga besar,” terang si ibu. “Orang berharap tidak apa-apa, kan?” Ibu itu tersenyum lagi. Ada-ada saja si ibu.
Apa benar tidak ada unsur masuk akalnya?
Menarik untuk dibahas. Coba ditunggu waktu berakhir. Dari awal penjualan pagi hari sampai malam, sejak dipukul-pukulkan uang hingga tutup warung, berapa jumlah penjualan yang didapat. Berapa pula untungnya?
Apakah kecil? Atau besar. Jika kecil, berarti tidak ada pengaruh. Mau uang yang dipukul seberapa pun besarnya. Jika untung besar, tetap saja tidak ada pengaruh.
Mana ada sih, barang dagangan setelah disentuh dengan uang menjadi lebih memikat orang sehingga tertarik membelinya? Wkakakaka…
Ada-ada saja juga kita mencari alasan logisnya. Mitos memang ada di masyarakat. Sebagian percaya itu dan tetap melakukan. Sampai sekarang, mitos tetap lestari dan menjadi bagian dari kehidupan masyarakat.
Anda percaya mitos juga?
** Edward Horas untuk Inspirasiana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H