Mohon tunggu...
Inspirasiana
Inspirasiana Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Kompasianer Peduli Edukasi.

Kami mendukung taman baca di Soa NTT dan Boyolali. KRewards sepenuhnya untuk dukung cita-cita literasi. Untuk donasi naskah, buku, dan dana silakan hubungi: donasibukuina@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Suara Hati Istri dan Menulis Sesuai Hati

4 Juni 2021   19:25 Diperbarui: 4 Juni 2021   19:36 219
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Apakah ada yang salah bila sinetron di layar televisi kita dengan tema    itu saja dan jauh dari kualitas?

Para pembuat sinetron pasti akan berkilah, "Kami membuat  sesuai  permintaan pasar karena itu yang di sukai masyarakat."

Dalam urusan bisnis hukum pasarnya memang demikian. Karena mereka orientasinya bisnis tentu saja urusan keuntungan yang ada di dalam batok kepala. 

Kalau Bisa Membuat Sinetron yang Asal-asalan Saja Laku Buat Apa Susah-susah Membuat yang Bermutu, Tetapi Tidak Laku

Logika bisnisnya demikian, membuat sinetron asal jadi saja banyak ditonton, lalu buat apa cari susah menghadirkan sinetron bermutu, tetapi malah tidak dilirik penonton. Dalam urusan bisnis ini adalah kebodohan. 

Tidak heran dari waktu ke waktu sinetron yang hadir di televisi kita tak jauh berbeda. Itu saja. Jauh dari tontonan bermutu. Bahkan dicap malah berpengaruh negatif dan  meracuni para penonton. 

Misalnya dengan kasus terbaru dengan sinetron "Suara Hati Istri" yang dianggap mengkampanyekan poligami secara terselubung dan eksploitasi seksual anak di bawah umur. Karena salah satu  pemeran sebagai istri masih berusia 15 tahun. 

Apakah para pembuat sinetron pernah berpikir tentang efek negatif dari sinetron yang ada? 

Kita bisa melihat kenyataan yang ada untuk memahami jawabannya. 

Mungkin yang lebih menjadi pertanyaan penting: Apakah sinetron ini menguntungkan atau tidak kalau dibuat? 

Begitu juga para pelaku peran akan menerima peran apa saja asal menerima bayaran yang sesuai. Sekalian berharap banyak yang menonton dan akan terus berlanjut seri berikutnya. Tentu ini akan semakin menambah saldo rekening dan menjadi lebih terkenal. Ini yang penting. 

Intinya yang penting masyarakat suka. Urusan berpengaruh negatif atau positif bukan tanggung jawab lagi. Karena apa yang mereka lakukan sekadar kerja. 

Dalam hal ini tentu saja tidak berlaku untuk semuanya. Kita percaya masih ada pelaku peran yang bekerja atas nama  seni dan hati. 

Bila Tanggung Jawab itu Ada 

Bila mereka yang membuat sinetron punya rasa tanggung jawab atas kehidupan ini tentu akan membuat sinetron yang bermutu dan mendidik masyarakat. Tidak selalu berteguh dalam pembenaran atas permintaan pasar. 

Mereka pasti akan berusaha mengubah selera masyarakat yang rendah asal terhibur tanpa memikirkan tontonan yang mendidik. Tidak sekadar membuat sinetron asal jadi. Namun merasa bertanggung jawab mendidik masyarakat sesuai profesinya. 

Bila tanggung jawab itu ada pasti akan lahir sinetron berkelas yang secara tidak langsung dapat mengubah selera sebagian penonton yang asal terhibur tanpa peduli dengan hikmat dari sebuah tontonan. 

Mungkin ada yang balik bertanya. Mengapa Anda sendiri tidak berperan  melakukannya? Jangan asal kritik dong. Benar. 

Berperan Sesuai Kapasitas Diri

Dalam hal ini kapasitas diri saya sebagai penulis, maka itu akan berperan sebagai penulis yang bertanggung jawab. Tidak akan mengambil bagian asal tulis demi untuk memenuhi selera pasar. Menulis dengan judul bombastis, tetapi isi seadanya. Karena yang penting banyak yang klik. 

Rasa tanggung jawab itu juga dengan berusaha tidak menulis demi mengejar tayang sehingga mengabaikan kemampuan diri memaksakan menulis apa saja  yang tidak sesuai hati. 

Menurut saya menulis sesuai dengan hati menjadi tanggung jawab yang takboleh terabaikan seorang penulis. Karena lebih  menjadi tantangan daripada menulis sesuai selera Admin Kompasiana sehingga menjadi langganan masuk Artikel Utama. Misalnya. Karena media untuk menulis bukan hanya di Kompasiana. 

Saya pikir daripada mempelajari selera Admin, alangkah lebih baik merenungkan isi tulisan sendiri. Apakah benar sudah sesuai bisikan hati atau bisikan nafsu keinginan untuk memuaskan ego?

Menulis sesuai hati tentu saja tidak mudah karena godaan menulis sesuai keinginan selalu ada, padahal  keinginan belum tentu mendapat restu dari hati. Tak aneh bila slogan menulis dengan hati bisa menjadi omong kosong. 

Acap kali oleh keinginan yang menguasai tanpa sadar apa yang ditulis merugikan dan menyakiti orang lain. Lalu berkilah yang penting niat saya baik. Baik sesuai pemikiran sendiri. 

Seperti halnya  apa yang dilakukan para pembuat sinetron bahwa niat mereka baik untuk memberikan tontonan yang menghibur kepada masyarakat. Walaupun ada  suara hati yang tak menyetujui harus terkubur.

K71 untuk Inspirasiana

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun