Najwa, anak kecil berusia enam tahun dengan semangat memberitahukan kepada saya bahwa di malam Ela-ela nanti Ia akan membuat soan.
Wajahnya polosnya sebagai anak kecil begitu jujur mengungkapkan walau dalam keadaan menahan lapar karena berpuasa.
Pun dengan Jihan yang juga langsung menyahut tak mau kalah dengan Najwa, Ia pun dengan semangat mengungkapkan bahwa akan melaksanakan soan. Jihan lebih muda setahun dari Najwa. Keduanya baru duduk dibangku SD.
Keceriaan keduanya nampak memekar. Walau wajah mungil mereka di sore itu menunjukkan keduanya begitu lemas menahan lapar. Mereka begitu bersemangat menjelaskan agar saya mau mendengarkan.
"Najwa dan Jihan puasa terus?" tanyaku.
"Iya Puasa terus, tidak bolong-bolong," Jawab Nazwa cekatan. Pun dengan Jihan yang tak mau kalah.
"Wah asik, berarti Kaka boleh rabas atau merampas soannya Najwa dan Jihan?" tanyaku meledek.
"I...Kaka sudah tua, tidak boleh. Yang boleh hanya anak-anak kecil," ujar mereka serempak.
Saya hanya cekikan melihat kepolosan dua anak ini.
Tiga hari menjelang perayaan tepatnya di malam Ela-ela, sebuah tradisi di Maluku Utara dalam memperingati malam Lailatur Qadar atau di Malam 27 Ramadhan, keduanya selalu menyempatkan waktu mampir rumah. Sekadar mengingatkan bahwa mereka masih terus berpuasa.
Selain mereka berdua, di kampung saya terdapat sepuluh anak yang bakal merayakan soan. Mereka semua adalah anak-anak kecil yang melakukan ibadah puasa ramadan sebulan penuh untuk pertama kalinya.
Soan adalah sebuah perayaan di Maluku Utara untuk menyemangati anak-anak yang berhasil menyelesaikan puasa 30 hari tanpa bolong.Â
Baca juga:Â "Soan Tradisi Unik Orang Tua ke Anak
Malam Ela-ela
Di Maluku Utara, malam Lailatur Qadar diperingati dengan nama malam Ela-ela. Setiap keluarga muslim di Maluku Utara membakar pelita atau obor di depan rumah masing-masing.
Malam Ela-ela merupakan tanda perayaan soan. Soan sendiri merupakan budaya yang melekat erat dengan salah satu suku di Maluku Utara, yakni suku Makian. Perayaan ini sudah turun-temurun digelar.
Walau pada konteks historis belum ada data pasti kapan pertama kali digelar hingga penamaan Soan itu sendiri. Namun secara harafiah,perayaan ini adalah makna dari bentuk syukur dan hadiah bagi anak-anak yang berpuasa untuk pertama kalinya.
Menurut salah satu warga, jika anak-anak sudah memiliki niat membuat berpuasa dan ingin melakukan soan akan tetapi dalam perjalanannya mereka bolong puasa sehari atau dua hari, namun para orang tua tetap membuat soan, maka saat dewasa nanti mereka juga akan bolong-bolong berpuasa.
Tak ada kepastian soal asal-usulnya, namun tradisi soan ini masih terus dilaksanakan hingga saat ini. Tujuan pembuatan soan juga selain hadiah dan rasa syukur juga merupakan ajang pemberian semangat bagi anak-anak lain yang belum berpuasa.
Harapannya, saat tiba ramadan berikutnya, mereka juga termotivasi dan terdorong untuk berpuasa agar bisa merayakan soan dan menyaksikan keseruan pohon soan mereka diperebutkan oleh anak-anak.
Keduanya sangat serius. Kertas dilipat, digunting dan dilem. Beberapa saat kemudian, sudah nampak wujud yang mereka buat. Ikan, bendera, kapal selam (712) hingga berbagai ornamen lainnya.
Kegiatan ini, adalah salah satu tahap dan bagian dari perayaan soan. Oranamen ini akan menjadi hiasan yang digantung ke buah pohon pisang.
Keesokan harinya atau H-3 perayaan soan, dari ruang tamu kini beralih ke dapur. Ibu-ibu, yang merupakan sanak keluarga dan ibu dari anak-anak yang melakukan soan akan sibuk membuat kue.
Kue ini dibentuk sedemikian rupa. Ada yang berbentuk jambu, bulat hingga kotak dan dibuat berwarna warni. Kue ini kemudian dirangkai menggunakan lidi daun kelapa muda dan disusun sehingga nampak begitu cantik.
Pada hari perayaan, hujan mengguyur dari pagi hingga sore. Walau demikian, selepas ba'da Dzuhur, sudah nampak begitu ramai jalan desa yang hanya berjarak dua meter ini.
Beberapa anak muda nampak sibuk mendorong gerobak bermuatan pohon pisang beserta buahnya. Mereka disewa oleh warga yang akan menggelar soan. Pisang ini kemudian diantar ke rumah lalu dipasang di depan rumah. Biasanya di teras rumah.
Selain mereka, warga lain utamanya para bapak-bapak juga sibuk memikul pohon pisang yang entah berapa beratnya ke rumah. Pohon pisang inu kemudian dibuka sedikit daunnya lalu diikat agar tidak roboh.Â
Setelah selesai, barulah dilakukan pemasangan ornamen dan kue serta pernak-pernik lainnya.
Setelah Ba'dah Ashar, saya kemudian berkeliling ke semua rumah yang anaknya melakukan Soan. Di jam ini, saya menemukan para ibu-ibu sudah mulai memasang ornamen. Semisal bendera merah putih, uang, dan lain-lain. Uniknya ialah belum digantung ada dipasang kue.
Sebab, jika sudah dipasang maka dipastikan prosesi perampas atau rabas sudah dilakukan lebih awal dari jadwal yang seharusnya yakni selepas Ba'da Magrib. Setelah puas berkeliling dan mengambil dokumentasi, saya pulang ke rumah.
Pukul lima tiga puluh sore, saat sedang bersiap-siap untuk menyambut batal, terdengar di jalan desa begitu riuh. Ternyata setelah hujan sedikit berhenti, anak-anak dari ukung kampung, kecil hingga remaja sudah berkumpul
Mereka menyerbu rumah lokasi perayaan soan. Ternyata mereka sudah gerilya dan melaukan rabas soan lebih awal di ujung kampung. Alhasil, suasana begitu riuh. Saya bahkan cekikan melihat tingkah mereka.
Mereka berbondong-bondong berdiri di depan rumah. Sang tuan rumah yang berusaha menjaga agar jangan dulu dirabas dan menunggu habis magrib kewalahan.
Suasana ini sangat riuh dan mengocok perut. Apa yang diperagakan di depan mata menjadi sebuah hiburan tersendiri. Setelah selesai, mereka kemudian menuju ke rumah lain hingga semua pohon pisang ludes diserbu.
Terkadang ada talik ulur antara pemilik rumah dan anak-anak. Tuan rumah yang ingin agar dilaksanakan habis magrib memakai strategi belum memasang kue. Sebab jika kue sudah digantung artinya sudah siap dirabas.
Walau demikian, desakan anak-anak tetap membuat tuan rumah luluh. Jika sudah begini maka siap-siap, belum sempat semua digantung ke buah pisang sudah ada komando agar secepatnya direbut.
Saya yang menyaksikan ini hanya tergelitik. Mengingat di kala kecil juga melakukan perayaan yang sama. Namun bedanya, dulu murni hanya khusus anak-anak kecil. Berbeda dengan saat ini ketika anak remaja pun turut ikut merampas.
Padahal, perayaan soan ini diharapkan dapat memotivasi anak-anak kecil lain. Artinya biarkan anak-anak yang merayakan prosesi "rabas" agar mereka merasakan betapa serunya kegiatan itu.
Namun karena banyak remaja yang justru menyerobot membuat anak-anak ini, tak berani ikut dan hanya menjadi penonton. Bahkan, banyak orang tua yang marah atas apa yang mereka lihat.
Pada initinya, perayaan ini merupakan salah satu perayaan yang selalu ditunggu-tunggu menjelang akhir ramadan dan menjelang perayaan Ela-ela.
Anak-anak yang sampai pada tahap akhir berpuasa selalu antusias dan bersemangat. Bahkan penampilan dipersiapkan, pun dengan anak-anak yang dan sudah merayakan soan, mereka juga tampil dengan penampilan terbaik versi mereka.
Antusiasme ini adalah kultur kebudayaan yang hingga kini belum sedikit pun bergeser. Justru semakin kuat dipertahankan dan dipraktekan. Sebuah kondisi yang menurut hemat saya adalah kondisi kekayaan kebudayaan yang melekat erat dan dirawat oleh masyarakat desa.Â
(Sukur Dofu-dofu) Oleh Fauji Yamin untuk Inspirasiana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H