Belalak, di satu sisi, mau menunjukkan bahwa tingkat kepuasan yang dialami seseorang belum sampai pada titik yang diharapkan. Namun di sisi lain, juga mau menunjukkan bahwa apa yang belum terpuaskan itu tidak lalu dipenuhi secara liar dan membabi buta.
Akan tetapi, jika tidak dimaknai dan dihayati dengan benar, ada bahaya kalau belalak dapat sungguh mengubah manusia menjadi makhluk yang tak pernah puas. Menjadi makhluk yang serakah.
Masifnya kerusakan hutan barangkali bisa kita angkat sebagai contoh dari keserakahan manusia. Dikendalikan oleh keserakahannya, manusia tidak lagi melihat alam sebagai sesama ciptaan yang wajib untuk dilindungi, tapi hanya sebagai objek yang wajib untuk dieksploitasi. Hanya dilihat sebagai sarana pemuas kebutuhan.
Cara berladang dalam suku Dayak, menurut hemat saya, menghadirkan penghayatan yang benar dari makna belalak yang sesungguhnya. Saya katakan benar dalam artian bahwa di satu sisi, manusia sungguh menyadari dirinya adalah makhluk yang tak pernah puas, tapi di sisi lain, dia bisa mengontrol diri agar hidupnya tidak diperbudak oleh nafsu serakahnya tersebut. Bahwa berladang bukan didorong oleh motif ekonomi, melainkan semata-mata untuk meneruskan kearifan lokal yang telah diwariskan oleh leluhur adalah bukti nyata bagaimana manusia memanfaatkan alam bukan hanya sebagai sarana pemuas kebutuhan.
Kemampuan para peladang untuk mengendalikan diri didasari oleh kesadaran bahwa alam itu memberikan kehidupan kepada mereka. Maka, mereka tidak boleh serakah dalam menggarapnya.
Mereka harus bersikap baik dan sopan ketika memanfaatkan atau bersentuhan dengan alam. Alam itu memiliki "roh", "jiwa" tertentu yang memberikan kehidupan kepada manusia. Maka dari itu harus dihormati. Rasa hormat diungkapkan dengan sikap dan tutur kata yang sopan dan santun, serta lewat upacara atau ritual adat.
Pelibatan tanda-tanda alam dalam berladang menjadi bukti lain bagaimana para peladang melihat alam sebagai sesama ciptaan yang wajib untuk dijaga dan dilindungi. Bagi para peladang, tanda-tanda alam merupakan sarana yang melaluinya Yang Ilahi menyampaikan pesan apakah lokasi tertentu boleh digarap atau tidak. Bagian-bagian tertentu dari hutan atau lahan tidak pernah bisa digarap, apabila dianggap tidak direstui oleh Yang Ilahi.
Terhadap kepercayaan suku Dayak bahwa alam itu memiliki kekuatan mistis, ruang untuk diskusi masih terbuka lebar. Manusia-manusia modern dengan segala kecerdasan intelektualnya dapat dengan leluasa mempelajari kearifan-kearifan lokal dalam komunitas-komunitas asli.
Namun, satu hal yang harus mereka garis bawahi, kearifan lokal yang memiliki karakter lekat dengan locus (tempat), tidak sekadar mengatakan sudut pandang geografis. Sebuah tempat tinggal yang berupa dataran atau pegunungan atau pinggiran pantai, atau pinggiran hutan atau sawah, bukan hanya perkara geografis, melainkan mengurai suatu kebijaksanaan khas. Kebijaksanaan berupa produk relasionalitas manusia dengan alam tempat dia bertumbuh dan berkembang.
Apa yang mau ditekankan di sini ialah, meski dengan kekuatan akal budinya manusia mampu membongkar ketidaklogisan mitos, fenomena, legenda dan sejenisnya dalam sebuah komunitas adat, mereka juga harus memahami bahwa mitos bukanlah kisah khayalan atau hanya sebuah cerita untuk pengantar tidur. Mitos merupakan suatu "rasionalitas" dalam bentuk perdananya yang merupakan produk relasionalitas manusia dengan alam hidupnya (Armada Riyanto dkk (Eds.), Kearifan Lokal ~ Pancasila, 2015).
Hal tersebut menjadi penting untuk mereka pahami agar komunitas lokal tidak dipandang sebagai manusia terbelakang, tak beradab, hanya karena meyakini Yang Ilahi itu hadir pada pohon-pohon besar, sungai, batu-batu besar dan tempat-tempat tertentu yang dikeramatkan.