Aku berkantor di rumah. Kegiatan sehari-hari dari rumah, terhindar dari polusi serta virus berbahaya.
Namun tinggal di rumah, kadang membosankan. Â Akhir pekan pergilah kami ke Puncak, Pulau Seribu, Pantai Kuta, Pulau Komodo, Danau Toba. Setiap pekan pilot helikopter akan membawa ke tempat yang kami inginkan. Kami memiliki 1 helikopter hanya untuk keperluan berakhir pekan.
Kegemaranku berjalan di perkebunan teh di pegunungan. Kami sering ke Puncak menghirup udara segar. Setelah itu kuselingi dengan melukis, membaca, menulis artikel.
Bertahun-tahun kami hidup dengan irama yang sama hingga anakku tumbuh dewasa.
Kusadari, ketergantungan keluarga kami pada internet menyebabkan aku dan anak-anakku jarang berkomunikasi.
Kami hidup bagai terisolir dari masyarakat. Tetanggaku bahkan  terserang penyakit karena jarang berikteraksi.
Teringat kala aku remaja, ayah, ibu kerap bersilaturahmi ke rumah tetangga. Kini aku kehilangan masa bersosialisasi, terbuai dunia kerja.
Internet mengubah segalanya. Mengubah gaya hidup  keluarga dari masa ke masa. Si sulung harus berkacamata minus sejak usia 10 tahun. Si bungsu sangat pendiam dan pemalu. Aku terkejut kala ia mampu di depan komputer semalaman tanpa berbaring semenitpun.
Anak-anak di jaman super modern ini kurang bergaul. Saat Karen berusia 18 tahun, ia punya teman dating, seorang pria dari New Zealand. Aku hanya tersenyum melihat tingkahnya.
Olala, inikah dunia tanpa sentuhan rasa. Kami tertangkap basah oleh kondisi ini.
Internet for all, sungguh mengubah pola dan gaya hidupku dari masa ke masa. Internet bukan racun, tapi kebutuhan, namun saya merasa jauh dengan anakku kala Karen lebih suka mengirim teks dari gawainya ketimbang mengetuk pintu kamarku.