Ketika Indonesia masih dijajah oleh Belanda, hanya sebagian orang dari kalangan tertentu yang dapat mengenyam pendidikan di sekolah. Sebagian orang tersebut hanyalah keturunan Eropa, bangsawan, ataupun anak dari pemimpin daerah setempat. Keadaan sedikit berbeda dengan China yang pada abad ke-19 dijajah oleh Inggris, dimana diskriminasi dalam akses pendidikan juga dilakukan.
Jika di Indonesia hanya sebagian orang dari kalanganan tertentu, di China justru diskriminasi dilakukan dengan basis gender. Para wanita di China tidak diperbolehkan bersekolah, mereka juga tidak diperbolehkan untuk belajar membaca dan menulis di luar sekolah.
Dalam sistem sosial patriaki, para wanita diberikan kewajiban untuk mengurus rumah tangga dan mengasuh anak. Selain tidak diperbolehkan bersekolah, mereka juga dilarang untuk keluar ataupun bersosialisasi di luar rumah. Dalam budaya tradisional Tionghoa, seorang istri juga diharuskan untuk bergabung dengan keluarga suaminya dan meninggalkan keluarga kandungnya.
Pada saat yang sama, laki-laki yang menjadi kepala keluarga diharuskan untuk mengenyam pendidikan. Dikarenakan pelarangan ini, laki-laki China pada saat itu memiliki bahasa rahasia yang hanya dapat dimengerti oleh laki-laki. Mereka memiliki bahasa rahasia yang tidak diperbolehkan diajarkan ke wanita dan bahasa ini disebut dengan Nan Shu (yang berarti tulisan pria). Dikarenakan diskriminasi ini, para wanita China kebanyakan saat itu buta huruf.
Siapa sangka ternyata diskriminasi dari sistem sosial patriaki yang telah dilakukan dari dulu di China, tidak memadamkan semangat para wanita China untuk belajar dan berkomunikasi. Wania-wanita tersebut berasal dari Jiangyong, Hunan. Mereka melawan Nan Shu dengan mencitapakan sebuah bahasa rahasia yang hanya dimengerti oleh wanita, melawan Nan shu dengan Nushu yang diartikan sebagai "tulisan wanita".
Asal usul Nushu pun tidak diketahui pastinya, tidak diketahui siapa pelopor dari bahasa rahasia ini. Beberapa ahli mengemukakan bahwa bahasa rahasia ini pertama kali berasal dari dinasti Song yang berkuasa pada tahun 960 hingga 1279. Bahasa ini diajarkan turun temurun dari seorang ibu kepada anak perempuannya, dan dipraktikkan untuk berkomunikasi dengan sesama saudara ataupun teman-teman perempuannya.
Nushu termasuk dalam aksara fonetik, dibaca dari kanan ke kiri, dan mewakili penggabungan dari empat dialek lokal yang digunakan di desa-desa Jiangyong. Nushu ditulis sebagai simbol yang melambangkan suku kata dan ditulis menggunakan bambu yang diruncingkan. Untuk tinta yang digunakan, para wanita menggunakan sisa bakaran yang tertinggal di bawah panci setelah memasak.
Dikarenakan bentuknya yang melengkung seperti benang dan lebih panjang dibanding hanzi, Nushu kerap disebut sebagai "tulisan nyamuk" karena penampilannya yang kurus dan panjang mirip dengan serangga nyamuk.
Dijaga dengan baik oleh para wanita Jiangyong, bahasa rahasia ini pertama kali ditemukan oleh Zhou Souyi, seorang pria pada tahun 1983. Selama ratusan tahun bahasa ini digunakan oleh wanita di sana, pria ini mempelajari dan menerjemahkan teks Nushu kedalam bahasa Mandarin standar. Ironis, kerja keras Souyi dalam mempelajari Nushu justru dikecam oleh pemerintah China saat itu karena dianggap melanggar nilai komunisme. Seluruh penelitiannya dibakar dan ia pun dimasukkan ke kamp kerja paksa selama 21 tahun.
Setelah melewati Revolusi China pada tahun 1911 yang menjadi pelopor didirikannya Republik China, para wanita mulai diberikan kesempatan untuk bersekolah seperti laki-laki. Ditambah dengan sistem politik komunisme yang dianut oleh Republik China pada tahun 1950an, pendidikan menjadi sebuah hak asasi yang diberikan kepada seluruh masyarakat.
Mulai mengenal hanzi yang digunakan hingga sekarang, Nushu mulai ditinggalkan dan para penggunanya yang lebih tua sudah meninggal, dimana salah satunya adalah Yang Huanyi. Yang Huanyi adalah seorang wanita dari Jiangyong dan menjadi orang terakhir di dunia yang mengerti dan menggunakan bahasa Nushu. Ia meninggal pada 20 September 2004 pada usianya yang ke-98, meninggalkan misteri dari bahasa rahasia ini.
Pengunaan Nushu bukan digunakan untuk membagikan informasi ataupun sebagai sarana pembelajaran. Bahasa rahasia ini digunakan para wanita Jiangyong untuk berbagi perasaan, harapan, ketakutan, kesedihan, kegembiraan, kesulitan dan kemalangan yang mereka alami sehari-hari. Diskriminasi gender yang kuat membuat para wanita meratapi ketidakadilan dan penderitaan hidup mereka melalui bahasa rahasia ini.
Nushu juga tidak dapat digunakan sembarangan karena menjaga kerahasiaan bahasa tersebut. Biasanya wanita Jiangyong akan menuliskan puisi, cerita ataupun lagu yang dituliskan kedalam gulungan bambu; disulam kedalam sapu tangan, selimut, ikat pinggang atau syal; ataupun dilukis pada kipas angin. Benda yang sudah dituliskan Nushu nantinya akan ditukar secara diam-diam kepada lawan bicara para wanita tersebut.
Para wanita di China dulu tidak diperbolehkan untuk berbicara secara terbuka mengenai penyesalan pribadi, kesulitan hidup ketika hidup dengan keluarga suaminya, ataupun perasaan sedih atau dukanya.
Nushu menjadi sebuah jalan keluar bagi para wanita Jiangyong untuk mencurahkan hatinya sekaligus menjalin persahabataan penuh dukungan di lingkungan yang penuh larangan.Â
Menambah keunikan dari Nushu, para perempuan pengguna bahasa ini juga memiliki sworn sister. Sworn sister merupakan wanita yang tidak memiliki hubungan biologis tetapi bersumpah di depan para dewa untuk berkomitmen pada persahabatan dan kesetiaan seumur hidup. Konsep sworn sister ini mungkin mirip dengan konsep persahabatan seperti di zaman sekarang, bedanya mereka harus disumpah di depan para dewa.
Berkat Zhou Souyi yang tidak putus asa dalam mempelajari Nushu, ia bersama dengan Yang Huanyi berhasil menghasilkan sebuah kamus Nushu. Kamus yang dibuat satu tahun sebelum Huanyi meninggal dibuat dengan tujuan untuk mengenalkan Nushu kepada seluruh masyarakat.
Nushupun mulai merebut perhatian pemerintah China dan masyarakat Internasional. Sebuah sekolah Nushu pertama didirikan di Desa Pumei, Jianyong pada tahun 2001 dan kemudian dikembangkan menjadi sebuah museum yang dapat dikunjungi oleh siapa saja pada tahun 2007. Pada tahun 2004, sebuah pameran yang dikhususkan untuk mempromosikan Nushu dibuka di China menyediakan 300an naskah Nushu yang selama ini dijaga oleh para wanita Jianyong.
Nushu juga terdaftar menjadi Warisan Budaya Takbenda oleh pemerintah China pada tahun 2006.
Untuk melestarikan Nushu yang ditakutkan akan punah ini, pemerintah China mengeluarkan berbagai kebijakan seperti memberikan subsidi kepada anggota masyarakat yang mau mempelajari Nushu. Pemerintah China juga membuat kebijakan yang mengatur peraturan dan perencanaan serta meningkatkan digitalisasi dan standarisasi Nushu.
Cerita mengenai para wanita yang menggunakan Nushu juga mulai diangkat oleh para seniman melalui film, lagu ataupun buku. Penulis merekemondasikan sebuah buku bergenre historical fiction yang menceritakan perjuangan seorang wanita sambil meneruskan Nushu, yaitu Snow Flower and the Secret Fan karya Lisa See. Buku yang dipublikasikan pada tahun 2005 ini juga telah difilmkan dan dirilis pada tahun 2011. Penulis sangat merekomendasikan untuk pembaca yang ingin belajar lebih mengenai Nushu, sebagaimana buku ini telah mempertemukan penulis dengan bahasa rahasia yang sudah tidak rahasia ini lagi.
Ditulis oleh Jeniffer Gracellia untuk Sahabat Inspirasiana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H