Indonesia dikenal dengan aneka seni budaya, termasuk tari tradisional. Menari sudah menjadi bagian dari nadi budaya kita. Bagaimana kisah para penggiat tari dalam mempelajari dan menghayati tari?
Apa saja manfaat menari? Mari kita simak penuturan dua rekan kita: Suster Monika dan Mbak Maria Ayu. Mereka mewakili diary dua penari beda generasi yang sama-sama menari dengan hati.
Menari sebagai puja pada Sang Pencipta (Suster Monika SND)
Menari bukan hanya gerakan badan, namun jiwa juga menggelora dalam rasa syukur bahagia.
Saya bersyukur boleh belajar menari sejak kecil. Ibuku membawaku ke suatu sanggar. ‘Mbah Mangku” namanya, pengajar tari dari Solo. Kami diajari dasar-dasar gerakan tari yang langsung diiringi dengan tabuhan gamelan.
Kami diajari bagaimana mengolah rasa dalam gerak dan irama, menyelaraskan raga dalam setiap gerakan nan bermakna. Dari situ saya
mengenal budaya. Menari adalah bahasa tubuh yang mengarah pada puja Sang Pencipta.
Setelah remaja dan masuk biara, saya baru mengenal tarian Kreasi Baru, yang waktu itu diciptakan oleh Maestro Seniman Bagong Kusudiarja. Antara lain tari Kukilo, Merak, Wira Pertiwi, Yapong, Langen Kusumo, Lenggot Bowo dan Kelana Topeng versi Kreasi Baru.
Saya senang menari dan membawakannya sebagai persembahan bagi Suster yang manghayubagia, di dalam maupun di luar negeri. Mereka sangat menghargai dan berseri di hari bahagianya jika saya menari. Sepertinya tak terlupakan bagi mereka dalam kenangan.
Menari bagiku tidak sembarang gerakan namun mengandung makna, sebagai pujian dan syukur. Tak jarang jika saya sendirian memuja Yang Kuasa dalam syukur gerakan tarianku yang merupakan pujian.