Daun Di atas Bantal terbilang film lawas yang disutradarai Garin Nugroho. Rilis tahun 1998 diperankan oleh Christine Hakim sebagai Asih, serta tiga anak bernama Kancil, Heru, dan Sugeng yang beradu nasib dengan kerasnya hidup jalanan.
Film tersebut menceritakan tentang ketiga anak jalanan yang menyambung hidup dengan menghalalkan berbagai cara. Daun Di atas Bantal adalah cerminan realita anak jalanan di sepanjang rel kereta di Yogyakarta.
Awal saya mengetahui film itu seperti biasa direkomendasikan oleh salah satu teman baik saya. Jujur rasa enggan untuk menonton ada awalnya, namun karena puncak rasa ingin tahuku melonjak, akhirnya tanpa pikir panjang aku segera menonton film itu.
Ya, sepanjang film diputar, saya menikmati alur ceritanya. Hingga pada detik-detik terakhir film tersebut mulai habis, tenagaku mulai terkuras. Mengapa? Daun Di atas Bantal menyuguhkan cerita yang luar biasa dan tidak terduga. Hadirnya figur Asih di film tersebut, membuat diriku terpanting ke memori masa lalu.
Ya, Asih bukan ibu kandung dari Kancil, Heru, ataupun Sugeng. Ia hanya merupakan pelayan toko yang membantu ketiga anak tersebut bertahan hidup. Asih menyediakan gubuk kecil sebagai tempat tidur mereka berdua. Setiap malam Asih melerai mereka ketika berantem berebut bantal.
Mungkin, adegan ini terlihat sederhana. Tetapi, di adegan tersebut saya bisa merasakan, Â bagaimana suasana itu diciptakan untuk sebuah momen yang akan menjadi potongan kenangan manis di masa mendatang atau justru sebaliknya. Terlampau manis hingga menolak lupa untuk menerima kenyataan yang getir.
Momen sederhana tersebut adalah titik celah dimana esensi dari rumah itu muncul. Momen yang diulang terus menerus dari percikan konflik sederhana di dalam rumah yang notabene itu adalah bisa dianggap orang seperti masalah sepele, namun menciptakan kedekatan, kebersamaan, rasa peduli, saling menghargai, dan kasih sayang.
Kadang saya menjadi menyadari, momen sesederhana itu belum tampak bermakna ataupun diingat jika kita mengabaikan momen yang sebenarnya justru menghangatkan.
Ya, saya jadi ingat betul ada yang menyerupai sosok Asih di dalam hidupku ketika aku merantau untuk melanjutkan kuliah di Yogyakarta. Sekilas cerita, saya sering membeli cilok di depan kampus saya. Penjualnya ibu-ibu. Awalnya memang seperti orang asing tidak dikenal, tetapi siapa sangka ibu penjual cilok itu lama kelamaan saya anggap sebagai sosok ibu bagi saya.
Berkat kebiasaan yang langganan cilok setiap harinya, serta intensitas berbicara yang tinggi membuat saya bertukar rasa dengan dirinya. Ini menciptakan kedekatan.Â
Ya, mengapa saya menganggap dirinya seperti sosok ibu? Saya menjadi sering bercerita dengan dirinya, ia memahami saya, dan sering mengingatkan saya untuk tidak memaksakan diri berkegiatan sampai kelelahan. Terutama, dia selalu mengingatkan saya untuk tidak terlambat makan.
Sosok ibu hadir begitu tepat di depan mata saya, ketika saya merasa kurang atas hadirnya sosok yang memberikan kasih sayang kepada saya.
Nah, sama bukan seperti sosok Asih dalam film Daun Di atas Bantal? Lewat film tersebut, kita jadi memahami perihal ibu dimaknai sebagai arti yang lebih dalam. Menjadi ibu bukan hanya sekadar perihal hubungan darah sebagai orang yang melahirkan, tetapi ibu merupakan naluri untuk merawat dan mengayomi orang lain.Â
Ibu bisa kita rasakan dan sejatinya bisa hadir di dalam diri siapa saja. Ketika orang tersebut mampu mengayomi, melindungi, dan merawat tanpa pamrih.
Hal ini juga terbingkai dengan jelas bahwa naluri Asih sudah bisa dianggap sebagai sosok ibu, ketika pada akhirnya Asih menyesal, merasa bersalah yang berkepanjangan akibat ketiga anak jalanan tersebut menerima nasib naas. Mereka meninggalkan Asih sepenuhnya tanpa teka-teki.
Saya memahami betul, ketika puncak emosi Asih belum terselesaikan ketika berkonflik dengan ketiga anak tersebut, tetapi mereka sudah pergi. Asih menyadarinya bahwa dirinya telah terlambat untuk mengungkapkan sebenarnya kegeramannya dia adalah buah kasih sayang naluri dia sebagai ibu bagi Kancil, Heru, dan Sugeng.
Asih menjadi linglung dan sepanjang hidupnya dihantui rasa bersalah itu. Kenangan manis akan selalu diingat di dalam benaknya. Daun Di atas Bantal berusaha mengajarkan kita  untuk berbagi kasih dengan orang.Â
Selain itu, menyadarkan kita bahwa kedekatan emosional itu bisa dibangun di rumah. Rumah bukan sekadar bangunan melainkan tumpahan segala warna-warni momen yang dilalui bersama-sama.Â
Naluri seorang ibu bisa muncul dan kita rasakan dari siapa saja baik teman, saudara, bahkan orang asing sekalipun.
Kita bisa menjadi sosok ibu bagi orang lain yang membutuhkan, tidak usah menunggu peran dan tanggung jawab itu datang.Â
Lihatlah sekeliling kita, apa saja masalah yang dihadapi orang di sekitar kita? Mungkin saja mereka rindu akan naluri seorang ibu. Kita bisa berusaha membantunya dengan memberikan atensi dan menciptakan momen sehingga orang tersebut merasa nyaman.
Daun di atas Bantal menyadarkan kita bahwa tiap insan bisa menjadi ibu yang memperhatikan orang lain.
Ditulis oleh Maria Ayu untuk Inspirasiana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H