Mohon tunggu...
Inspirasiana
Inspirasiana Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Kompasianer Peduli Edukasi.

Kami mendukung taman baca di Soa NTT dan Boyolali. KRewards sepenuhnya untuk dukung cita-cita literasi. Untuk donasi naskah, buku, dan dana silakan hubungi: donasibukuina@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

"Neka Poka Puar", Cara Masyarakat Manggarai Menjaga Pohon dan Hutan

21 November 2020   00:25 Diperbarui: 22 November 2020   21:24 567
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Turis sering mengabadikan keindahan alam Pulau Flores bagian barat saat melintasi Jalan Transflores di Rongket, Kampung Robo, Kecamatan Wae Rii, Kabupaten Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur. Foto diambil pada Agustus 2014.(KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR)

Ajaran sosial masyarakat Manggarai diwariskan dalam bentuk go'et-go'et (seloka), tombo turuk (pengajaran) dan dalam nyanyian-nyanyian tradisional.

Dari sekian banyaknya ajaran sosial masyarakat Manggarai itu, ada satu ajaran yang bernuansa ajakan agar "neka poka puar..(jangan menebang pohon secara sembarangan dan/atau tidak bertanggung jawab").

Kalimat neka poka puar ini biasanya diikuti kalimat jaga meti wae yang berarti awas sumber mata airnya hilang.

Ajaran sosial ini menekankan pada pentingnya pohon bagi keberlangsungan hidup manusia dan segenap ciptaan lainnya. Ihwal, tanpa adanya pohon, mata air pasti akan mengering, sejumlah satwa akan kehilangan tempat tinggalnya dan lain sebagainya.

Bertolak dari sederet fakta itulah, komunitas adat di Manggarai sangat mengharamkan penebangan hutan secara liar. Apalagi sampai menebang pohon yang berada dekat mata air, misalnya. Tentu saja tindakan fatalisme seperti itu akan berujung pada jeratan hukum adat.

Kalimat neka poka puar pada dasarnya mempunyai fungsi laten dalam komunitas adat. Karena kami di Manggarai menyadari bahwa, aktivitas penebangan pohon secara serampangan adalah suatu kegiatan yang tidak dikehendaki dan/atau tidak boleh dilakukan.

Ada sebuah kebiasaan, para sesepuh dan tetua adat di desa seringkali berpesan bila hendak mencari kayu bakar ke hutan, maka carilah apa yang hendak dicari dan jangan sampai meninggalkan kerusakan. Selebihnya, jika ingin membuat api (memasak maksudnya), carilah tempat yang memungkinkan dan jauhi semak belukar agar tidak memicu kebakaran hebat di hutan.

Pandangan masyarakat Manggarai terkait pohon dan hutan ini biar bagaimanapun tak bisa dilepaskan dari refleksi atas kondisi sosial masyarakatnya. Dalam hal ini komunitas adat Manggarai mempunyai kultur agraris yang erat dan integral dengan alam sekitarnya.

Tak bisa dimungkiri lagi bahwa, berkat hutan yang dilindungi dengan baik itu, air di sungai tetap mengalir, debit pengairan irigasi persawahan tetap lancar, ketersediaan air untuk konsumsi sehari-hari tetap terjamin hingga terciptanya udara sejuk di desa.

Wae Melobang adalah salah satu mata air yang muncul dari dalam bongkahan batu. Mata air Wae Melombang tetap mengalir secara intens setiap tahunnya karena kondisi hutan tetap terjaga dengan baik oleh masyarakat di Desa Pacar, Manggarai Barat, Flores (Kompasianer/GUIDO REBA)
Wae Melobang adalah salah satu mata air yang muncul dari dalam bongkahan batu. Mata air Wae Melombang tetap mengalir secara intens setiap tahunnya karena kondisi hutan tetap terjaga dengan baik oleh masyarakat di Desa Pacar, Manggarai Barat, Flores (Kompasianer/GUIDO REBA)
Bila berbicara tentang pohon dan kesejukan, saya pikir, kita perlu belajar dari Buddha Gautama. 

Pada dinding relief Candi Borobudur dan Candi Prambanan, misalnya, kita bisa melihat dan menyaksikan lukisan pohon dan maknanya dalam kehidupan kita.

Ada juga relief yang memperlihatkan Sang Buddha merenung hening dibawah rindangnya pohon Bodhi. Para muridNya yang sekolahnya ambruk pun bisa belajar dan beraktivitas dibawah pohon itu.

Pesan filosofis dari pohon-pohon itu sangat tinggi dan sangat dalam, tentu saja. Di mana pohon digambarkan seperti rumah. Meliputi pembentukan ruang paling dasar yakni akar dan tanah= lantai, batang= tiang, daun dan ranting= atap. Lukisan dinding relief candi itu bila diperhatikan amat keren, romantik dan sakral.

Sang Buddha pun menyebutkan, cinta, kedamaian dan persaudaraan digambarkan dengan menanam pohon. Sementara kebencian dan anarkhisme digambarkan dengan menebang pohon. 

Begitulah, Buddha sangat peduli dengan eksistensi pohon dan hutan di bumi. Setidaknya saya pernah mengulas hal ini dalam sebuah artikel lawas di sini (sila klik).

**

Berkenaan dengan Hari Pohon Sedunia (world tree day) 21 November 2020 ini pula, kita semua kembali diingatkan sekaligus diajak untuk lebih mencintai pohon dan hutan di sekitar tempat kita tinggal.

Saya pikir, alasan dibalik adanya perubahan anomali cuaca dan iklim yang berubah-ubah dan tak menentu akhir-akhir ini besar pengaruhnya oleh volume luas lahan perhutanan sudah semakin menipis tiap tahunnya.

Maka dari itu, saatnya menerapkan prinsip arus balik. Yakni dengan melakukan reboisasi hutan yang sudah gundul akibat illegaloging, kebakaran dan sebagainya. Hanya itulah salah satu cara terbaik yang kita punyai saat ini. 

Lantas, bersediakah kita melakukannya (?) Untuk memulihkan kondisi bumi yang saat ini kita tinggali?

Yuk, kawan-kawan, mari kita mulai dari diri sendiri untuk menanam pohon dan menghijaukan kembali bumi kita!

Selamat Hari Pohon Sedunia untuk kita semua. Salam hijau.

*Ditulis oleh Guido R. untuk Inspirasiana*

__

Lagu Neka Poka Puar---Manggarai

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun