Melihat kondisi sedemikian rupa, kekuasaan memilih bersikap abai karena kekuasaan tahu betul musuh paling besar dari kekuasaan ialah mahasiswa sebagai kaum muda terpelajar. Kekuasaan paham betul bahwa mahasiswa dan kaum muda lah yang pertama kali harus ditumpulkan secara sistematis oleh rezim kurikulum pendidikan.
Salah satu contoh sederhana upaya pelemahan yang dilakukan kekuasaan melalui sistem pendidikan antara lain, pada saat ujian kita dihadapkan dengan metode jawaban pilihan ganda yang sudah disediakan ataupun melalui metode pencocokan yang sifatnya dogmatis. Apabila terdapat pertanyaan berbentuk essay, kebenaran jawabannya berada pada otoritas guru/dosen, bukan pada argumentasi siswa/mahasiswa itu sendiri, sedangkan kita tahu bahwa daya kritis pemuda lahir melalui proses persilangan argumentasi dan analisa dialektis. Hal ini diperparah dengan kebijakan pemerintah yang mengarah pada upaya koptasi sebagian besar kampus-kampus negeri sampai ke urusan teknisnya seperti pemilihan rektor. Kekuasan perlahan mengubah pendidikan menjadi sebuah komoditas, bukan lagi menjadi sebuah hak warga negara seperti apa yang diamanatkan konstitusi.
Ruang-ruang kelas dikendalikan oleh pasar, siapa yang memiliki kemampuan finansial dialah yang berhak mengakses pendidikan, sehingga yang hadir didalam ruang kelas bukan lagi logika kemanusiaan namun logika persaingan. Kampus menjelma menjadi sebuah menara gading yang memisahkan kaum intelektual dengan rakyat, merekonstruksi mindset mahasiswa melalui berbagai kebijakan kampus, salahsatunya melalui berbagai kegiatan wajib mahasiswa kampus yang hanya berorientasi pada profit dan seremonial bukan bertumpu pada Nation And Character Building dan kebermanfaatan masyarakat seperti apa yang diamanatkan Tridharma perguruan tinggi.
Kemanusiaan bukan lagi menjadi arah perjuangan intelektual mahasiswa, ini yang membuat mahasiswa sekarang lebih mudah di adu domba hanya karena isu perbedaan golongan, identitas, suku, ras, agama dan hal-hal yang samasekali tidak substansial, padahal banyak sekali pekerjaan rumah bangsa ini yang harus dikerjakan bersama seperti perjuangan ekonomi, perjuangan sosial dan lain-lain.
Di 2045 nanti, Indonesia sebagai sebuah bangsa akan menggenapi usia kemerdekaannya menjadi 100 Tahun. Kita tidak ingin perayaan tersebut berubah menjadi perayaan kegagalan mahasiswa Indonesia, kita tidak ingin lagi di cap sebagai mahasiswa yang bermental Inlander. Kita ingin di 2045 nanti, bangsa kita merayakan 100 tahun Indonesia sebagai sebuah bangsa merdeka, sebuah bangsa yang memiliki pemuda yang mewarisi api perjuangan, gagasan dan pikiran besar para pemuda 1928 dengan cita-cita luhur tentang sebuah Nation.
Sudah saatnya mahasiswa hari ini dengan berbagai kemudahan dan kelebihan yang dimiliki harus mampu bangkit menghadapi dan memenangkan tantangan zaman, krisis mahasiswa harus dientaskan. Mahasiswa harus menjadi kaum terpelajar yang memiliki optimisme dalam melangkah dengan semangat kebhinekaan serta mampu membawa harapan besar untuk mengemban amanat penderitaan rakyat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H