Sumpah Pemuda". Ikrar tersebut lahir dari sebuah kesadaran kolektif akan pentingnya rasa nasionalisme dan persatuan yang merupakan kristalisasi cita-cita berbangsa melalui sebuah kongres pemuda yang dipelopori oleh Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI).
Tahun 1928, setahun sebelum Great Depression melumpuhkan ekonomi dunia, badan sepakbola tertinggi dunia FIFA menggelar kongres di Amsterdam untuk merumuskan rencana gelaran pesta sepakbola antar negara terakbar untuk pertama kalinya. Di Cina daratan, tepatnya pada bulan Juni 1928 Presiden China Zhang Zuolin di bunuh oleh Jepang. Di tahun yang sama, di belahan dunia lain tepatnya bulan oktober 1928 di gedung Indonesisch Huis Kramat, sebuah ikrar setia oleh para pemuda dikumandangkan, yang saat ini kita kenal dengan "96 tahun berlalu, hari ini 2024 dengan berbagai kemajuan, tantangan zaman dan berbagai problematika pemuda, rasanya sah-sah saja jika merefleksikan diri sebagai bagian dari introspeksi sekaligus merawat spirit 1928. Bukan tanpa alasan, belakangan ini bangsa kita tengah menghadapi berbagai problem rumit. Salahsatunya adalah persoalan yang hadir dari kelompok Mahasiswa sebagai golongan intelektual muda. Problematika besar hari ini ialah penafsiran filosofis dan praksis spirit Sumpah Pemuda. Ikrar Sumpah Pemuda saat ini berkembang hanya menjadi sebuah mitos namun Spirit Sumpah Pemuda itu sendiri mengalami pemfosilan.
Di negara dan bangsa manapun, apabila tengah mengalami krisis ataupun kemunduran, lazimnya harapan terakhir untuk menjadi problem solving adalah mahasiswa, tak terkecuali di Indonesia. Lalu timbul pertanyaan, mahasiswa yang seperti apa? Maka bayangan orang-orang akan pulang ke rumah sejarah, kembali ke 1928 untuk menemukan kembali intelektual muda yang memiliki moral komitmen untuk menjadi tauladan para mahasiswa zaman sekarang.
Di tahun 2024 frasa moral komitmen pada mahasiswa yang notabene merupakan representasi golongan muda justru menjadi sebuah problem sekaligus pertanyaan besar, pasalnya hari ini kita dapat dengan mudah menemukan banyaknya mahasiswa dan organisasi mahasiswa, namun kita tidak dapat menemukan moral di sana. Kita dapat menemukan mahasiswa yang secara usia dapat dikategorikan sebagai anak muda, fisiknya muda, kulitnya kencang, tenaganya muda namun pikirannya kendor, ideologinya teledor dan moralnya jompo.Â
Pada Kongres Pemuda tahun 1928, para intelektual muda alih-alih menjadi seorang intelektual muda yang ketika ia lulus akan menduduki jabatan-jabatan amtener (Pegawai Negeri Sipil Zaman Kolonial), justru banyak dari intelektual muda yang merupakan anak-anak priyayi menolak jabatan tersebut, mereka lebih memilih berjuang dan melakukan bunuh diri kelas secara sukarela demi cita-cita berbangsa. Pertanyaan hari ini, kita tidak lagi menemukan mahasiswa sebagai intelektual muda yang datang untuk sebuah cita-cita besar, bayangan kemajuan bangsa dan komitmen bersama tentang apa yang dicita-citakan sebuah negara Indonesia sebagai nation yang dibangun dengan spirit gotong-royong. Sekarang kita lebih mudah menemukan kuntilanak dibandingkan mahasiswa yang mewarisi spirit sumpah pemuda.
Situasi ini, berakar pada upaya proses pemfosilan pemuda yang dalam konteks ini adalah mahasiswa sebagai kaum intelektual muda. Hari Sumpah Pemuda diperingati setiap tahunnya, namun peringatan tersebut hanya sebatas seremonial belaka dan bersifat artifisial, sementara secara filosofis maupun praksisnya kata "Muda" nya sendiri mengalami involusi bahkan mengarah pada kejumudan. Sedangkan tujuan dari diperingatinya hari sumpah pemuda itu sendiri ialah tempat kita "men charge", agar tetap terkoneksi dengan konsep perjuangan para pemuda 1928 dan menghidupkan kembali spirit pemuda dengan cara kembali ke rumah sejarah, mencari role model tokoh-tokoh pemuda pada zaman itu yang memiliki peranan penting dan apa yang mereka lakukan pada periode itu untuk kemudian dijadikan teladan, inspirasi dan terus menerus dilakukan reintepretasi yang relevan oleh mahasiswa pada masa sekarang agar mampu menghadapi tantangan zaman.
Saat ini Ikrar Sumpah Pemuda itu sendiri hanya diteriakan kosong oleh mahasiswa pada momentum momentum tertentu, berputar-putar saja sebagai sebuah kata tanpa makna, yang kemudian mengalami pembusukan. Setelah itu, Sumpah Pemuda ini akan mengarah pada pengeramatan, pengkultusan, mitos sehingga yang terjadi selanjutnya adalah disorientasi dan degradasi nilai.
Hal ini merupakan bukti bahwa mahasiswa hari ini mengalami dampak destruktif dari sebuah missing link yang mengakibatkan mahasiswa kehilangan naluri mahasiswa yang sesungguhnya. Saling hisap, saling sikut tanpa alasan argumentatif, bernegara tetapi tidak mengerti tujuan bernegara, berbangsa tetapi tidak mengerti tujuan berbangsa, hal tersebut ibarat sekelompok kera yang saling cakar di tempat gelap.
Hari ini kita dapat menemukan contoh sederhana dari disorientasi dan degradasi nilai pemuda tersebut, salah satunya adalah ketika mahasiswa membentuk sebuah partai dan hal yang dilakukan pertama kali oleh mereka ialah gelar karpet ke istana, berusaha menjadi bagian dari kekuasaan istana. Hal ini tentu bertolak belakang dengan apa yang dilakukan oleh kaum intelektual muda pada 1928, di mana pada saat itu ketika para intelektual muda dan terpelajar membentuk organisasi atau partai, hal yang pertama kali dilakukan adalah diferensiasi posisi, menarik garis demarkasi dengan kekuasaan dan bersikap kritis terhadap kekuasaan untuk memihak rakyat.
Dalam konteks yang lebih kecil, di kampus-kampus kita dapat menemukan mahasiswa dan organisasi mahasiswa lebih bangga menjadi kepanjangan tangan birokrat lembaga kampus dan tunduk kepada kebijakan kampus yang notabene merugikan mahasiswa dibandingkan harus memperjuangkan mahasiswa.Â
Mahasiswa yang digambarkan sebagai "young hero" pada saat negara sedang menghadapi masa-masa sulit, justru bersikap sangat eksklusif, tidak memiliki sikap ideologis, sangat kompromis, pragmatis dan oportunis. Sebagian besar mahasiswa lupa akan tugas dan tujuan mereka menjadi mahasiswa. Mereka memiliki kecenderungan sebagai pemuda yang egois, manja, tidak memiliki sense of crisis dan sense of belonging terhadap berbagai persoalan maupun kondisi sosial. Berteriak lantang dalam berbagai demonstrasi mengatasnamakan rakyat, tetapi dalam proses perjuangannya samasekali tidak terintegrasi secara langsung bersama-sama di tengah rakyat, tidak mengerti psikologis rakyat, bahkan mencium aroma keringat rakyatnya pun tidak. Mereka bersikap antipati terhadap rakyat miskin, merasa lebih berpendidikan, merasa lebih tinggi kastanya dibandingkan dengan rakyat miskin yang tidak bersekolah dan merasa lebih eksklusif. Mereka hanya menjual kemiskinan yang dialami rakyat, hanya untuk tuntutan kepentingan dan tuntutan eksistensi kelompok maupun individu.