Menjelang pesta demokrasi, ruang publik kian dipenuhi narasi-narasi yang menyebabkan segregasi sosial. Ruang publik yang mestinya dikendalikan oleh diskursus akal sehat seturut mekanisme justru bermetamorfosa menjadi perdebatan-perdebatan kusir agitatif.
Alih-alih menciptakan deliberasi publik, disorientasi demokrasi hari ini justru memproduksi letupan-letupan nirsubtantif. Persoalan-persoalan sosial yang diharapkan menjadi kerangka acuan diskursus, justru dieliminasi, yang kemudian ruang publik dikolonisasi oleh kepentingan-kepentingan kapitalis yang berafiliasi dengan politisi - politisi oportunis.
Kontestasi demokrasi adalah momentum untuk menciptakan dan memperkuat public civility atau keadaban publik. Keadaban publik dikonstruksi melalui proses yang berpijak pada akal sehat dan kebijaksanaan dalam berfikir. Proses ini dimulai dari para elite politik, mereka bertanggung jawab untuk menjadikan kontestasi demokrasi sebagai momentum mendewasakan rakyat dan membangun kesadaran kolektif dalam merancang konstruksi demokrasi itu sendiri sebagai jalan untuk kebermanfaatan bersama.
Namun hal seperti itu tidak mungkin terwujud manakala elite-elite politik selalu menggunakan paradigma kapitalis dalam memaknai proses demokratisasi ini. Kadangkala mereka tidak menjadikan pesta demokrasi sebagai "sekolah politik"Â bagi rakyat, tetapi justru menjadikannya sebagai kontestasi untuk memperkuat agenda proyek elektoral mereka yang disokong para pemburu rente.Â
Maka betul apa yang dikatakan Levitsky dan Ziblat dalam tesisnya, bahwa matinya demokrasi bukan lagi di tangan orang -- orang bersenjata, melainkan di tangan pemimpin terpilih, presiden atau perdana menteri yang membajak proses yang membawa mereka ke kekuasaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H