Mohon tunggu...
Suluh Muda
Suluh Muda Mohon Tunggu... Lainnya - Democracy And Human Right Research Institute

Lembaga sosial yang konsen pada kajian isu demokrasi dan hak asasi manusia

Selanjutnya

Tutup

Politik

Demokrasi Menemui Ajalnya?

29 Agustus 2024   17:43 Diperbarui: 29 Agustus 2024   17:49 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: hidayatullah.com

Menjelang pesta demokrasi, ruang publik kian dipenuhi narasi-narasi yang menyebabkan segregasi sosial. Ruang publik yang mestinya dikendalikan oleh diskursus akal sehat seturut mekanisme justru bermetamorfosa menjadi perdebatan-perdebatan kusir agitatif.

Alih-alih menciptakan deliberasi publik, disorientasi demokrasi hari ini justru memproduksi letupan-letupan nirsubtantif. Persoalan-persoalan sosial yang diharapkan menjadi kerangka acuan diskursus, justru dieliminasi, yang kemudian ruang publik dikolonisasi oleh kepentingan-kepentingan kapitalis yang berafiliasi dengan politisi - politisi oportunis.

Kontestasi demokrasi adalah momentum untuk menciptakan dan memperkuat public civility atau keadaban publik. Keadaban publik dikonstruksi melalui proses yang berpijak pada akal sehat dan kebijaksanaan dalam berfikir. Proses ini dimulai dari para elite politik, mereka bertanggung jawab untuk menjadikan kontestasi demokrasi sebagai momentum mendewasakan rakyat dan membangun kesadaran kolektif dalam merancang konstruksi demokrasi itu sendiri sebagai jalan untuk kebermanfaatan bersama.

Namun hal seperti itu tidak mungkin terwujud manakala elite-elite politik selalu menggunakan paradigma kapitalis dalam memaknai proses demokratisasi ini. Kadangkala mereka tidak menjadikan pesta demokrasi sebagai "sekolah politik" bagi rakyat, tetapi justru menjadikannya sebagai kontestasi untuk memperkuat agenda proyek elektoral mereka yang disokong para pemburu rente. 

Maka betul apa yang dikatakan Levitsky dan Ziblat dalam tesisnya, bahwa matinya demokrasi bukan lagi di tangan orang -- orang bersenjata, melainkan di tangan pemimpin terpilih, presiden atau perdana menteri yang membajak proses yang membawa mereka ke kekuasaan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun