Mohon tunggu...
Laode Insan
Laode Insan Mohon Tunggu... Wiraswasta - Writerpreneur

Writerpreneur (Novelist, Movie Scriptwriter, Violinist) | Penulis novel Serdadu Pantai

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Serdadu Pantai & Pujangga Galau

27 November 2019   07:03 Diperbarui: 27 November 2019   10:28 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Serdadu Pantai : Grasindo

Saya ingin berbagi sedikit tentang pengalaman sewaktu kuliah. Tapi bukan kisah seribu satu malam ya.. :)

Suatu waktu, seorang teman kuliah saya kebetulan sedang datang main ke kos. Ia ingin mengajak ke kampus karena ada acara 'Pentas Malam Sastra. Kegiatan itu sangat meriah, ada pembacaan puisi, pentas musik akustik gitar. Setiap mahasiswa bebas untuk tampil. Acara tersebut dilakukan sekali sebulan sebagai ajang ekspresi sastra dan mempererat keakraban sesama mahasiswa. Bahkan ada yang berpartisipasi karena memang ingin jadi Pujangga.

Begitu bersemangat, teman  saya berusaha terus membujuk. Padahal sebenarnya saya baru saja mulai dan sedang asyik-asyiknya menulis sebuah novel di kamar. Saat itu saya ingin mewujudkan tekad untuk menulis sebuah novel inspiratif dan harus selesai. Itu tekad bulat saya.

Perlahan ia mendekati kursi di meja belajar kamar saya. Ia sangat semangat merayu seperti seorang negosiator ulung yang melakukan transaksi penawaran bisnis. Berusaha membujuk saya agar bersedia ikut ke kampus.

Awalnya saya tidak ingin ikut malam itu karena sedang asyiknya mulai menulis novel. Selain itu juga karena saya agak flu. Apalagi saya juga dilanda rasa malas akibat siang harinya kegiatan saya di kampus cukup padat. Malam itu saya ingin santai saja di kamar menikmati hobi saya. Tapi rupanya teman saya tetap gigih berusaha membujuk sambil menunjukkan kamera foto SLR digital miliknya.

Ia mengatakan di acara malam sastra kala itu ada satu mahasiswi baru yang sedang jadi perbincangan di kampus. Mulai dari mahasiswa senior yang terkenal dengan predikat MA (Mahasiswa Abadi) karena sudah sampai semester dua belas tapi belum juga lulus. Hingga mahasiswa junior yang baru seminggu kuliah dan seangkatan dengan mahasiswi tersebut.  Semua membicarakan mahasiswi jelita itu.

Memang sudah hampir menjadi kebiasaan di kampus kecil kami, setiap mahasiswa baru selalu dalam pengawasan mahasiswa senior. Baik panitia OSPEK maupun mahasiswa lain, semua mengawasi dan membicarakannya. Akibat begitu seriusnya mereka mengamati, sampai saya pernah berpikir bahwa mereka lulus nanti sepertinya akan lebih cocok jadi sarjana. Lebih tepatnya sarjana 'pengamat'.

Apakah mengamati perpolitikan tanah air yang ramai dengan pengamat? Bukan. Mereka bukan mengamati itu. Mereka justru cenderung lebih tertarik mengamati mahasiswi baru yang jadi idola kampus karena wajahnya yang tak bosan dipandang. Mungkin juga karena ingin mengakhiri status jomblonya. Sehingga lebih banyak membahas aksinya yang pedekate mahasiswi daripada membahas status kuliahnya yang sudah 'lampu kuning'. Makanya mereka sangat antusias dalam hal pengamatan.

Saya berhenti menulis. Saya lihat sejenak sahabat saya itu, ia terus sumringah. Karena merasa tidak tega, akhirnya saya pun setuju untuk ikut datang ke kampus yang jaraknya cuma sekitar 200 meter dari kos. Apalagi setelah ia menunjukkan sebuah foto gadis jelita di layar kameranya. Dengan bangga ia mengatakan bahwa itu adalah salah satu hasil karya foto terbaiknya saat Ospek. Katanya: "Setelah aku berhasil memotret gadis ini di kameraku, aku ingin gadis ini juga berhasil memotret diriku di hatinya." Cinta oh cinta..

Maka dengan pakaian seadanya, berangkatlah kami ke kampus. Tidak hanya sekedar berangkat, tapi ia juga memaksa saya untuk membawa serta biola agar saya nanti bisa ikut tampil di acara malam sastra tersebut. Dalam hati saya sempat merasa jengkel karena permintaannya yang agak memaksa.

Tapi yang lebih membuat saya jengkel lagi adalah setelah mendengar rencananya. Ia ingin agar saya mengiringinya dengan biola saat ia tampil membaca puisi untuk sang gadis pujaannya. Katanya juga, jika saya malu tampil, cukup saya sembunyi di balik pohon dan biarlah suara biola saya saja yang terdengar mengiringinya. Apaa?? Sembunyi di balik pohon?? Oh Tuhan... rasanya saya mau pingsan.

Jika bukan karena kesetiakawanan, mungkin saya akan tolak dengan tegas dan lugas. Tanpa kompromi sedikit pun. Tapi saya tidak melakukan itu, karena ada prinsip 'sesama jomblo harus saling mendukung'. Saya putuskan untuk ikut tampil mengiringinya, berdiri tak jauh darinya.

Demi membuat teman bahagia meski mengorbankan keasyikan saya yang sebenarnya malam itu sedang menulis novel di kos, saya jadi ikut semangat. Semangat untuk mengiringi pembacaan puisi teman dekat saya.

Ketika kami baru saja sampai di kampus, tanpa basa basi ia langsung mendatangi panitia. Ia mendaftarkan diri untuk ikut tampil memeriahkan acara malam sastra tersebut. Mahasiswa baru saat itu hampir semuanya datang. Bagaimana dengan mahasiswa Senior? Jangan ditanya.

Selepas shalat Isya, puluhan mahasiswa senior itu ternyata telah duduk melantai di atas rumput, dekat kolam kampus dan pelataran parkir. Mereka pendatang pertama sebelum panitia dan mahasiswa lain. Rupanya, selain faktor dosen cantik yang bisa membuat mereka rajin kuliah, faktor ingin menggugurkan ke-jomblo-an mereka juga sangat berpengaruh. Makanya tingkat kerajinan mereka datang ke kampus sangat tinggi.

Apalagi malam pentas sastra memang menghadirkan suasana yang sangat meriah di kampus karena selalu ditunggu-tunggu. Menunggu dengan dada berdebar, seperti halnya juga teman saya yang akan tampil. Berkali-kali ia mengatakan kalau dadanya berdebar, tapi hatinya sangat berbunga-bunga. Ia ingin segera tampil baca puisi sekaligus sebagai ungkapan cintanya.

Saya hanya tenang saja, sambil duduk santai di bangku bawah pohon dekat kolam kampus, asyik menyetem senar biola saya.

Sesaat kemudian, ternyata hal yang tidak terduga berbalik menghampiri saya. Ketika semua telah berkumpul dan acara siap dimulai, lebih tepatnya saat penampilan pertama teman saya akan dimulai, seketika dada saya jadi berdebar. Pandangan mata saya tertuju pada satu titik, pada seorang gadis yang duduk di antara mahasiswi lainnya. Cahaya lampu yang sedikit menerangi, disertai cahaya bulan, rupanya sebuah senyum telah merenggut hati saya.

Kebimbangan mendera hati. Apakah saya bisa memainkan biola mengiringi teman saya yang telah berdiri dan memberi sepatah kata pembuka? Apakah tangan saya tidak gemetar saat mulai main biola? Apakah saya akan tetap main biola atau jadi terlena pada pandangan mata dari wajah yang ternyata jauh lebih cantik aslinya daripada fotonya?

Apakah saya akan tetap mencintai biola dan punya energi semangat menulis buku novel? Bersaing dengan Hansip karena begadang menulis sampai larut malam? Atau semua energi dan semangat itu beralih? Terserap pada upaya ingin ikut bersama para jomblo kampus untuk mendekati sang gadis idola?

Apakah gadis itu berhasil menjadi Gadis yang mampu mengalihkan cintaku pada Biola dan menulis buku novel? Lalu bagaimana ceritanya hingga saya tetap mampu menghasilkan sebuah karya novel inspiratif berjudul "Serdadu Pantai"?Bagaimana juga dengan sahabat saya yang akan tampil membaca puisi? Apakah ia sukses memikat hati sang gadis itu atau justru sukses menjadi 'Pujangga Galau'? Sabar ya, nati saya tulis lanjutannya.

Ini dia Novel SERDADU PANTAI yang segera terbit bulan Desember ini.

Serdadu Pantai

Penerbit Grasindo

Serdadu Pantai : Grasindo
Serdadu Pantai : Grasindo

Untuk dapat informasi terbaru, follow yuk instagram penulisnya

IG: @laodeinsan @serdadupantai

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun