Pada waktu liburan ke kampung halaman, saya menyempatkan diri untuk mengunjungi pantai Nirwana. Salah satu pantai di pulau Buton ini memiliki pasir putih yang halus, hamparan pasirnya luas. Air lautnya tampak bening, dan kita dapat melihat pasir pantainya dengan jelas. Pantai ini terletak di Kota Baubau. Selain pantai Nirwana, masih banyak lagi pantai pasir putih lainnya yang ada di Buton dan pulau sekitarnya.
Bila dilihat dari udara, kawasan pantai ini tampak biru kehijauan, membentang hampir sekitar satu kilometer, dihiasi hamparan pohon-pohon kelapa. Pantai ini adalah salah satu identitas keindahan wajah Nusantara kita sebagai Negara kepulauan.
Saya mengunjunginya pagi hari, menjelang matahari terbit. Saat seperti itu adalah waktu yang paling menyenangkan bagi saya untuk ke pantai, selain sore di saat senja. Alasannya karena uap udara tepi pantai di pagi hari bagus untuk pernafasan dan paru-paru. Bisa juga menjadi terapi bagi penderita asma.
Pagi itu saya datang bersama teman. Saya mengajaknya untuk berfoto dan mandi di laut. Tetapi teman saya tidak ingin berfoto, apalagi mandi di laut. Ia cuma ingin duduk santai di bawah pohon kelapa yang teduh sambil melihat pantai putih dan laut biru yang teduh. Ia punya alasan sendiri kenapa tidak ingin melakukannya. Selain karena sedang malas berfoto, juga karena tidak ingin kulitnya semakin kecoklatan akibat sinar matahari. Ia terobsesi dengan kulit putih mulus laksana artis pada umumnya. Â Ya ampuuun.., rasanya saya mau pingsan.
Kadang, teman saya itu cuma berdiri bersandar di batang pohon kelapa, seolah berteduh menghindari sinar matahari, padahal sinar matahari pagi belum muncul. Ia laksana penjaga pantai baywatch yang bertugas mengawasi dan menolong orang di laut sekitar tepi pantai. Mengenakan celana pendek, telanjang dada, dan berdiri dengan melipat kedua tangan di dada, lengkap dengan kacamata hitamnya.
Sebenarnya saya tidak masalah dengan sikapnya yang ingin seperti seorang  baywatch. Persoalannya, saya akan dengan senang hati menyetujui sikapnya apabila ia telah berhasil mengubah penampilannya. Mengubah dari perut onepack menjadi perut six pack.
Jika bukan karena menghormati privasinya, rasanya saya ingin segera memaksanya berfoto dengan mengenakan kaosnya agar penampilan onepack-nya itu luput dari pandangan saya. Ia begitu percaya diri minta difoto sambil berdiri sandar di bawah pohon kelapa memakai kacamata hitam, tapi onepack terlihat jelas. Oh tidaakk.. mendadak saya menutup mata saat memotretnya.
Oya, bicara tentang six pack, saya jadi ingat dengan masa kecil ketika masih kanak-kanak. Kami sangat sering main di laut, berenang, atau sekedar bermain pasir membuat bola peluru untuk di adu kuat. Saya juga teringat dengan masa-masa ketika kami beradu kuat dalam menyelam dan bertahan lama di dalam air tanpa bantuan alat pernafasan.
Bahkan ketika kami selesai berlomba renang, kami bergegas kembali ke tepi pantai, setelah mendengar perintah. Laksana para pasukan katak atau pasukan elit Marinir yang selesai berenang dan beroperasi di laut, lalu kembali berbaris di tepi pantai. Berdiri tegap mengikuti instruksi komandan. Kami pun demikian, empat orang anak kecil yang siap siaga mengikuti perintah, seakan begitu bersemangat untuk menjadi Serdadu Pantai.
Tidak hanya sekedar berdiri berbaris saja. Kami yang berbaris tanpa baju, hanya pakai celana pende, begitu percaya diri untuk saling unjuk badan. Menirukan gaya binaraga yang memamerkan otot-otot kekarnya. Seingat saya, waktu itu badan saya dan juga teman-teman sangat sixpack. Cuma bedanya, sixpack kami saat itu bukan karena menonjolnya otot-otot perut yang kekar, tapi lebih kepada menonjolnya tulang-tulang rusuk kami. Hehehe...
Ingatan saya tentang kenangan indah masa kecil itulah yang akhirnya membuat saya cukup memaklumi kenapa teman saya cuma berdiri dan bersandar di pohon kelapa. Mungkin ia juga sedang berada di masa lalu, membayangkan dirinya sebagai bagian dari Serdadu Pantai dengan perut sixpack, padahal kini naik peringkat menjadi onepack.Â