Mohon tunggu...
insan buana
insan buana Mohon Tunggu... wiraswasta -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pertunjukan Terakhir Sebelum Aku Mati, Kalian Pasti Suka

19 Desember 2017   08:09 Diperbarui: 19 Desember 2017   22:27 1295
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Gambar: imgfave.com)

Hari ini aku memakai make up tebal sekali, kebetulan aku dapat sedikit rezeki untuk memerankan badut di acara ulang tahun putri dari kawan SMP-ku yang belum lama ini aku bertemu kembali dengannya lewat facebook. 

Memang aku rajin sekali memasang iklan di laman facebook-ku sembari sekali kali melihat tab chat, barangkali saja ada yang sedang online, sehingga aku bisa menawarkan jasa badutku kepadanya, tidak hanya badut, kadang-kadang aku juga menjadi pembawa acara di event-event formal dan informal, meskipun aku akui masih perlu banyak belajar.

Bulan-bulan ini terasa cukup berat bagiku, aku banyak introspeksi diri apa karena penampilanku sudah ketinggalan zaman atau memang aku sudah tidak muda lagi, aku mulai menjadi badut dari selepas lulus SMA, umurku masih belasan tahun saat itu. 

Entah berapa bulan aku belum membayar uang sewa rusunawa yang kutinggali bersama istri dan ketiga anakku, juga entah berapa bulan aku belum membayar uang sekolah anak-anakku, dan setumpuk tagihan lainnya. Istriku yang mengurusnya, setiap ada sedikit yang aku hasilkan, aku segera memberinya pada istriku. 

Biarlah ia yang mengatur semua urusan keuangan, meskipun ternyata uang tersebut hanya cukup untuk bertahan hidup, istriku tidak pernah mengeluh apalagi marah, ia hanya tersenyum saja sembari memberiku pelukan setiap setiap aku memintanya untuk sabar.

Aku heran, kenapa aku bisa lupa membeli serbuk pewarna untuk mewarnai sekeliling bibirku, akhirnya aku meminjam lipstick milik istriku, istriku hanya tertawa saja dan memintaku mengambil di laci. Ketika aku mengambil lipstick-nya aku terkejut melihat lipstick-nya yang ternyata belum ia ganti semenjak hampir setahun lamanya, aku ingat membelinya di toko dekat pasar saat mengantar istri berbelanja. 

Berarti ia hanya memakai sedikit saja setiap akan berangkat keluar rumah agar lipstick itu tetap awet, atau bahkan tidak memakai sama sekali jika tidak terlalu diperlukan. Aku merasa sangat jahat, beberapa tahun sebelumnya saat ekonomi keluargaku masih membaik, istriku paling gemar sekali membeli make-up keluaran terbaru, hampir setiap bulan ada saja yang dibeli.

Pikiranku langsung kusut, pagi yang terasa cerah berubah menjadi terlalu panas dan gerah, degup jantungku tidak lagi beraturan, aku tiba-tiba saja kehilangan mood untuk bekerja hari ini, ingin sekali aku mengacak-ngacak riasan badut di wajahku ini lalu mencari tempat yang sesepi mungkin untuk sebentar saja menangis tanpa terlihat seorang pun termasuk istriku. 

Tapi upah menjadi badut hari ini sebesar Rp 800.000 selama tiga jam tidak dapat aku sia-siakan, sudah beberapa hari ini aku tidak mendapatkan penghasilan sama sekali. Segera saja aku pamit dan memeluk istriku ala kadarnya karena tidak ingin rasa sedih ini berlarut-larut, istriku mendoakan aku semoga pekerjaanku hari ini lancar.

Tempat aku perform hari ini tidak terlalu jauh dari tempat tinggalku, aku memutuskan untuk berjalan kaki saja karena tidak tega meminta ongkos pada istriku, aku berpapasan dengan tetangga-tetanggaku yang sedang bersiap-siap pergi ke tempatnya mencari nafkah, kebanyakan tetanggaku berdagang di pasar-pasar tradisional, meski ada juga yang menjadi karyawan pabrik dan lain-lain. 

Mereka menyapaku ramah, setiap kami saling bersapa, meskipun aku dalam keadaan memakai lengkap pakaian badutku, aku merasa tidak ada tetangga yang mencibirku, masalah kami masing-masing sudah cukup berat, tekanan hidup sama-sama tinggi, tidak ada lagi ruang untuk saling mengejek.

Tanpa kusadari, langkahku semakin terseok pelan, setiap memikirkan betapa banyaknya beban hidup ini, tagihan yang setiap hari semakin bertambah, tidak ada lagi tempat aku mengadu, tidak ada lagi yang peduli pada keluargaku, tapi ada yang membuatku lebih menyesakkan dada, ialah istri dan anak-anakku, kenapa mereka sabar sekali? 

Kenapa seolah-olah mereka menjalani kondisi seperti ini dengan biasa-biasa saja? Kenapa istriku tidak pernah mengeluh? Kenapa istriku masih saja bisa menyajikan makanan untuk kami semua, meski dengan menu seadanya tapi hampir selalu bercerita dengan ceria bahwa ia senang sekali telah berhasil meniru sebuah masakan dari internet: tahu cabe merah misalnya atau berhasil berkreasi dengan bahan-bahan yang tersisa di kulkas.

Ini situasi yang tidak logis bagiku, bagaimana mungkin aku ditakdirkan bersama dengan mereka, orang-orang yang sangat aku cintai terjebak disituasi sangat buruk karena kesalahanku ? Aku merasa tidak pantas, ini tidak adil. 

Mereka hampir selalu ceria, bagaimana mungkin mereka tidak pernah bertanya kepadaku mengapa situasi ini bisa terjadi dan kapan situasi ini dapat berubah menjadi lebih baik? Seharusnya mereka marah kepadaku, seharusnya mereka tidak perlu membuatku selalu tertawa bahagia setiap aku pulang mencari rezeki apa saja di luar rumah, itu malah logis bagiku, aku bisa kok menerimanya.

Aku paksakan untuk berjalan, tapi aku harus sedikit menunduk karena mata ini rasanya mulai sedikit berair, aku tidak ingin orang-orang melihat seorang badut menangis, itu bisa merusak kredibilitas badut pikirku, aku berusaha menghibur diri sendiri di dalam meskipun tidak satupun yang berhasil. 

Aku mengkhawatirkan make up-ku, jadi aku tekan pelan pelan tanganku untuk memastikan tidak ada air mata yang berhasil keluar dari mataku. Barusan rasanya mataku sedikit berair. Inilah kebiasaan buruk yang tidak bisa aku hilangkan, setiap aku dalam posisi tertekan seperti ini, aku selalu saja sakit kepala, sakit kepala secara fisik. Rasanya ada yang menekan-nekan isi kepala ini.

Akhirnya aku tiba di rumah kawan lamaku itu, setelah tiba, aku sedikit kagum terhadapnya, pantas saja ia tidak menawar tarifku. Rumahnya memang tidak terlalu besar hanya saja terletak di jalan utama yang sudah pasti harganya di atas satu miliar, anak sahabatku bersama kawan-kawannya menyambutku senang, semua berkerumun. Kawanku mengucapkan selamat datang dan mempersilakanku untuk mengatur jalannya acara. aku pun langsung menyapa anak-anak dengan tos-tosan khasku. 

Saat aku meletakan koperku untuk mengeluarkan peralatan, aku berpikir, seharusnya anak-anaku bisa bahagia seperti ini, apakah aku yang terlalu berhasil mendefinisikan arti bahagia kepada mereka? Kenapa dengan bertemu dan bercanda denganku saja mereka sudah bahagia? Harusnya tidak! Harusnya mereka bahagia karena aku mampu memberi sesuatu kepada mereka.

Aku terdiam sejenak, rasanya kepalaku semakin sakit, air mataku serasa menyerbu ingin keluar dari mataku, rasanya aku tidak akan mampu tersenyum kepada anak-anak di hadapanku ini, rasanya aku tidak sanggup melanjutkan acara ini. 

Rasanya kali ini aku tidak sanggup menyembunyikan rasa sakit di balik wajah lucuku. Dan bagaimana aku bisa mengeluarkan rentetan jokes untuk mereka, sedangkan aku sendiri adalah sebuah joke yang sebenar-benarnya?

Kepalaku bertambah lagi sakitnya, dunia ini terasa berputar-putar, leherku sekarang kaku. Aku tidak mungkin mengundurkan diri dari acara ini, aku takut kawan lamaku ini kecewa, aku takut anak-anaknya kecewa, aku takut acaranya jadi kacau, tetapi aku takut istriku di rumah bertanya kenapa make up nya rusak, aku takut istriku bertanya acara hari ini sukses atau tidak.

Akhirnya aku putuskan: berjalan keluar dari acara lalu berlari setelah berada di jalan, spontan aku rencanakan akan menjawab, "Sebentar ada yang tertinggal" jika ada yang bertanya tentang gerak-gerikku, namun saat aku berjalan keluar rumah, tidak ada yang bertanya, mereka menganggap lazim aku mondar-mandir di acara ini.

Setelah sampai keluar rumah, aku berlari sekencang-kencangnya, dengan rasa kecewa kepada diri sendiri, kecewa karena kenapa tidak aku hadapi saja rasa takutku barusan. Padahal jika aku hadapi, mungkin itu hanya menjadi sebuah "rasa" saja, tidak menjadi kenyataan, sekarang semua sudah menjadi kenyataan, aku salah mengambil langkah, aku salah memilih reaksi, semua orang melihat seorang badut berlari dengan make up berantakan karena air mata yang terus mengalir. 

Aku menangis sejadi-jadinya, dada ini rasanya sesak, nafasku tersengal-sengal. Suara-suara yang rutin menemuiku setiap malam sebelum aku tidur, kini tiba-tiba hadir, mereka tertawa, ada yang sekedar menggumam, ada yang marah-marah keras kepadaku dengan bahasa yang tidak kupahami, dan ada juga yang berusaha tenang menasihatiku, tetapi mereka terlalu riuh semua berebut bicara kepadaku, suara-suara yang entah dari mana datangnya itu kini hadir di siang bolong berbaur dengan suara yang ku dengar di dunia nyata lewat telingaku. Ini suasana yang belum pernah aku alami, hectic sekali, membuat kepalaku serasa mau meledak.

Aku ingin secepatnya-cepatnya berlari menjauhi tempat acara, juga ingin sejauh mungkin menjauhi rumahku. Sekarang aku berlari sambil memikirkan bagaimana cara yang paling singkat dan cepat untuk mengakhiri hidupku. 

Meninggalkan semua beban, agar semua kejadian ini berjalan adil dan logis, seperti yang seharusnya terjadi. Aku mulai berlari ke arah fly over, tinggal satu belokan lagi. Dari semua pertunjukan yang pernah aku buat, ini akan menjadi pertunjukanku yang terakhir dan paling menarik, akan menjadi joke paling lucu yang pernah aku buat, mereka boleh berdiri dan tepuk tangan. Akulah badut yang paling sejati.

Tamat.

Terhubung dengan penulis

Twitter : insanbuana

Facebook : insan buana

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun