Karena saya penasaran dengan cerita perempuan diatas, saya mencoba mengkonfirmasi kepada mereka. Saya memulainya dengan pertanyaan: kenapa dusun mereka masuk di urutan yang ke-25 dari urutan 1-26 terkait dengan proses pembangunan hunian pasca gempa dari pemerintah. Kadus menjawab bahwa karena mereka lambat dalam pengumpulan data.Â
Kadus kemudian menambahkan cerita bahwa pemerintah hingga saat ini baru bisa menanggung pembangunan hunian untuk warga dusun yang masuk dalam urutan 1-21. Warga yang tinggal di dusun dengan urutan 22-26 masih belum jelas kapan pembangunan hunian mereka dilaksanakan. Padahal pos dana siap pakai (DSP) yang disediakan pemerintah penggunaannya berlaku hanya sampai 25 Agustus tahun ini.
Kadus dan beberapa orang yang nongkrong di Bruga mengaku bahwa mereka merasa tidak mendapaatkan kejelasan terkait bantuan hunian. Oleh karena itu, saat ini hampir semua keluarga sudah membangun rumah secara mandiri. Rata-rata rumah yang dibangun berbahan baku kayu. Rata-rata berdinding kalsiboard, beratap seng dan rumbia. Ada juga yang berdinding bamboo. Diantaranya ada yang dibangun model rumah panggung. Mereka mengaku trauma dengan bangunan rumah tembok.
"Itulah kenapa warga di dusun ini tidak terlalu mengejar rumah bantuan. Mereka rata-rata sudah membangun rumahnya secara mandiri dengan bahan seadanya, dengan ukuran suka-suka mereka. Yang jelas mereka anti rumah tembok." Kata Kadus.
Begitu Kadus bercerita dengan bangga. Namun ia kemudian menarik nafas agak dalam. Ia mengaku cukup kebingungan dengan sikap warganya. Mayoritas warganya memiliki pemahaman bahwa rumah bantuan pemerintah pengganti rumah mereka yang runtuh saat gempa adalah merupakan murni kebaikan pemerintah bukan merupakan hak mereka sebagai penyintas dan warga negara.
"Kan yang membuat bencana bukan pemerintah. Besyukur pemerintah mau membantu." Begitu Kades menirukan pernyataan warga-nya.
Terakhir saya bertanya ke Kadus. Apakah di dusun ini ada agenda pertemuan rutin yang membahas masalah-masalah warga, jawabnya tidak ada. Hanya incidental sesuai kebutuhan. Apakah para perempuan punya agenda pertemuan rutin untuk membahas masalah-masalah, jawabnya juga tidak ada. Semua kegiatan pertemuan warga dilakukan secara incidental sesuai kebutuhan; selain ketika ada kenduri dan kematian. Namun kegiatan gotong royong warga tetap berjalan asalkan Kadus meng-komando.
Saya tidak tahu apakah kisah ini mewakili tempat-tempat lain di KLU. Wallahu'alam!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H