Mohon tunggu...
Husaini
Husaini Mohon Tunggu... Freelancer - cah ndeso

founder omah buku "uplik cilik" : sebuah rumah baca dan tempat ngobrol anak-anak muda desa. beralamat di Desa Pelemgede Kec. Pucakwangi, Kab. Pati - Jawa Tengah. sebuah desa tepi hutan jati masuk wilayah kabupaten Pati berbatasan dengan kabupaten Blora. jalur japri : insahu977@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sepenggal Kisah di Dusun Penyintas Gempa Klu

31 Juli 2019   00:15 Diperbarui: 31 Juli 2019   00:19 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Yang bikin bencana kan bukan pemerintah. Kok kita nagih rumah ke pemerintah. Alhamdulillah kemarin-kemarin sudah di bantu. Ada beras, telor, tenda, mie instan dan lain-lain."

Pertama kali saya mendengar pernyataan itu dari seorang perempuan 52 tahun. Sambil mengupas Kumak (saya menyebutnya kedelai jumbo, karena kupernya saya, baru kali ini menjumpai kacang-kacangan jenis itu), perempuan itu santai bercerita soal kisah kehidupan keluarganya menghadapi gempa tahun lalu. Ia bersama suami, tiga anak, satu menantu dan dua cucunya, mengaku hanya mengungsi setengah bulan.

Setelah itu, mereka pulang ke lokasi tapak rumah-nya yang runtuh. Tinggal di Bruga (sebuah bangunan kayu berbentuk panggung yang berada didepan rumah. Rata-rata warga di dusun ini memilikinya. Biasanya digunakan sebagai tempat istirahat, nongkrong dan ngerumpi bersama keluarga dan para tetangga). Saat gempa, semua rumah tembok di dusun ini runtuh. Bruga dan rumah kayu tidak ada yang runtuh.

"Kami pulang. Kembali tinggal di tanah kami sendiri. Lalu kami kembali bekerja semampu kami. Saya tidak pernah mengejar bantuan. Malu rebutan bantuan. Kalua dikasih ya saya terima." Begitu katanya.

Awalnya, saya tertegun mendengar cerita perempuan itu. Tentang bagaimana ia memahami dirinya sebagai penyintas bencana gempa. Tentang bagaimana ia memahami dirinya sebagai warga negara. Tentang bagaimana ia memahami aparatur negara mulai presiden hingga kepala dusun. 

Kemudian saya mencoba memberi pemakluman ketika ia mengaku tak pernah sekolah. Anak-anaknya-pun hanya disekolahkan paling tinggi sampai sekolah menengah pertama (SMP). Sehari-hari, ia hanya beredar dari rumah ke kebun, dari kebun ke rumah. "Tenang rasanya hidup begini. Tidak dikejar hutang. Nyenyak tidur," Begitu ia cerita bangga dengan kehidupannya.

Setelah cukup lama ngobrol, saya bergegas pamit. Sebelum pamit saya mencoba meminta ijin tentang apakah boleh kalua cerita kehidupannya saya tulis dengan identitas yang terang. Saya tertarik menulis profil kehidupannya pasca gempa hingga hari ini dengan dinamika kehidupannya serta bagaimana ia memahami relasi penyintas dan negara itu. 

Dia bilang tidak boleh. Saya berusaha melakukan negoisasi untuk diperkenankan menulisnya. Saat saya setengah memaksa sambal menjelaskan tujuan dan manfaatnya, saya malah diancam. "Pokoknya jangan tulis ya. Nanti saya tidak mendapat bantuan rumah. saya doakan kena azab kalo diri saya ditulis. Saya khawatir nanti kalua di baca Pak Jokowi," begitu pesannya dengan serius. Aku mendengarkannya sambal berlalu. Pamit untuk mencari Bruga yang ada kerumunan orang untuk kembali ngobrol.

Kali ini, saya menemukan Bruga dengan banyak lelaki yang berkerumun. Sepertinya mereka sedang istirahat siang. Salah satu diantaranya, saya melihat ada yang memakai baju aparat desa. Saya akhirnya tahu kalua dia adalah seorang kepala dusun (Kadus). Saya membuka diskusi dengan para lelaki ini dengan pertanyaan soal jadwal pemilihan kepala desa. Kebetulan saya melihat undangan rapat soal rencana pemilihan kepala desa tergeletak di lantai Bruga.

Lalu seorang (yang mungkin saja tetua dusun) bercerita tentang kondisi dusunnya. Bercerita tentang dusunnya yang berlimpah sumberdaya alam: kelapa, mete, kumak, pisang, padi dan hampir semua rumah merawat ternak; sapi dan kambing. Lalu ia melanjutkan cerita soal warganya. 

"Kampung kami melimpah sumberdaya alam, tapi warga disini mayoritas merantau. Ada yang ke Malaysia, Hongkong, Korea. Ada juga yang ke Bali dan Jakarta. Hampir tidak ada yang sukses." Begitu ia bercerita dengan raut kecewa. Cerita itu diamini oleh Kadus. Ia menyodorkan data: kepala keluarga (KK) di dusun ini jumlahnya 110. Lebih dari separo diantaranya adalah perantau.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun