"Yang bikin bencana kan bukan pemerintah. Kok kita nagih rumah ke pemerintah. Alhamdulillah kemarin-kemarin sudah di bantu. Ada beras, telor, tenda, mie instan dan lain-lain."
Pertama kali saya mendengar pernyataan itu dari seorang perempuan 52 tahun. Sambil mengupas Kumak (saya menyebutnya kedelai jumbo, karena kupernya saya, baru kali ini menjumpai kacang-kacangan jenis itu), perempuan itu santai bercerita soal kisah kehidupan keluarganya menghadapi gempa tahun lalu. Ia bersama suami, tiga anak, satu menantu dan dua cucunya, mengaku hanya mengungsi setengah bulan.
Setelah itu, mereka pulang ke lokasi tapak rumah-nya yang runtuh. Tinggal di Bruga (sebuah bangunan kayu berbentuk panggung yang berada didepan rumah. Rata-rata warga di dusun ini memilikinya. Biasanya digunakan sebagai tempat istirahat, nongkrong dan ngerumpi bersama keluarga dan para tetangga). Saat gempa, semua rumah tembok di dusun ini runtuh. Bruga dan rumah kayu tidak ada yang runtuh.
"Kami pulang. Kembali tinggal di tanah kami sendiri. Lalu kami kembali bekerja semampu kami. Saya tidak pernah mengejar bantuan. Malu rebutan bantuan. Kalua dikasih ya saya terima." Begitu katanya.
Awalnya, saya tertegun mendengar cerita perempuan itu. Tentang bagaimana ia memahami dirinya sebagai penyintas bencana gempa. Tentang bagaimana ia memahami dirinya sebagai warga negara. Tentang bagaimana ia memahami aparatur negara mulai presiden hingga kepala dusun.Â
Kemudian saya mencoba memberi pemakluman ketika ia mengaku tak pernah sekolah. Anak-anaknya-pun hanya disekolahkan paling tinggi sampai sekolah menengah pertama (SMP). Sehari-hari, ia hanya beredar dari rumah ke kebun, dari kebun ke rumah. "Tenang rasanya hidup begini. Tidak dikejar hutang. Nyenyak tidur," Begitu ia cerita bangga dengan kehidupannya.
Setelah cukup lama ngobrol, saya bergegas pamit. Sebelum pamit saya mencoba meminta ijin tentang apakah boleh kalua cerita kehidupannya saya tulis dengan identitas yang terang. Saya tertarik menulis profil kehidupannya pasca gempa hingga hari ini dengan dinamika kehidupannya serta bagaimana ia memahami relasi penyintas dan negara itu.Â
Dia bilang tidak boleh. Saya berusaha melakukan negoisasi untuk diperkenankan menulisnya. Saat saya setengah memaksa sambal menjelaskan tujuan dan manfaatnya, saya malah diancam. "Pokoknya jangan tulis ya. Nanti saya tidak mendapat bantuan rumah. saya doakan kena azab kalo diri saya ditulis. Saya khawatir nanti kalua di baca Pak Jokowi," begitu pesannya dengan serius. Aku mendengarkannya sambal berlalu. Pamit untuk mencari Bruga yang ada kerumunan orang untuk kembali ngobrol.
Kali ini, saya menemukan Bruga dengan banyak lelaki yang berkerumun. Sepertinya mereka sedang istirahat siang. Salah satu diantaranya, saya melihat ada yang memakai baju aparat desa. Saya akhirnya tahu kalua dia adalah seorang kepala dusun (Kadus). Saya membuka diskusi dengan para lelaki ini dengan pertanyaan soal jadwal pemilihan kepala desa. Kebetulan saya melihat undangan rapat soal rencana pemilihan kepala desa tergeletak di lantai Bruga.
Lalu seorang (yang mungkin saja tetua dusun) bercerita tentang kondisi dusunnya. Bercerita tentang dusunnya yang berlimpah sumberdaya alam: kelapa, mete, kumak, pisang, padi dan hampir semua rumah merawat ternak; sapi dan kambing. Lalu ia melanjutkan cerita soal warganya.Â
"Kampung kami melimpah sumberdaya alam, tapi warga disini mayoritas merantau. Ada yang ke Malaysia, Hongkong, Korea. Ada juga yang ke Bali dan Jakarta. Hampir tidak ada yang sukses." Begitu ia bercerita dengan raut kecewa. Cerita itu diamini oleh Kadus. Ia menyodorkan data: kepala keluarga (KK) di dusun ini jumlahnya 110. Lebih dari separo diantaranya adalah perantau.