Mohon tunggu...
Husaini
Husaini Mohon Tunggu... Freelancer - cah ndeso

founder omah buku "uplik cilik" : sebuah rumah baca dan tempat ngobrol anak-anak muda desa. beralamat di Desa Pelemgede Kec. Pucakwangi, Kab. Pati - Jawa Tengah. sebuah desa tepi hutan jati masuk wilayah kabupaten Pati berbatasan dengan kabupaten Blora. jalur japri : insahu977@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Implementasi Program Pertanian Kita, Lain di Medsos Lain di Lapangan

17 Juli 2019   09:00 Diperbarui: 17 Juli 2019   09:10 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Di era kini, teknologi telah benar-benar terbukti membantu manusia dalam bekerja. Teknologi informasi misalnya; telah mampu memperpendek jarak, memangkas proses-proses komunikasi yang rumit dan biroktaris. Pemerintah, pada beberapa tahun terakhir getol memanfaatkan teknologi informasi ini untuk kerja-kerja pelayanan masyarakat.

Kini aplikasi kanal pengaduan bertebaran. instansi dan pejabat memiliki akun media sosial/medsos (diantaranya juga melayani pengaduan, disamping tentu saja menampung nyinyiran dari warganet). 

Saat ini, warga dari ujung kampung bisa melaporkan kesuksesan atau juga berkeluh-kesah mereka kepada instansi terkait, kepala dinas, bupati, gubernur, menteri bahkan presiden, melalui akun medsos. 

Secepat kilat tanggapan akan segera bermunculan. Bahkan jika kasusnya menarik hal yang disampaikan itu bisa menjadi viral. Di medsos, seringkali kemudian ada istilah: mari kita viralkan.

Pada tulisan ini, saya akan focus bercerita soal situasi lapangan tentang dunia pertanian (khusus petani padi) yang saya jumpai sehari-hari dengan kenyataan berbagai statement pejabat di media mainstream dan berbagai postingan di akun-akun medsos instansi dan atau pejabat sector pertanian.

Berikut beberapa kisahnya:

Pertama, di akun medsos, perkembangan penggunaan kartu tani untuk penebusan pupuk bersubsidi getol di publikasikan. Kisah sukses tergambar di benak pembaca. Namun di kampung saya, tak satu-pun petani yang memiliki kartu tani.

Sosialisasi tentang kartu tani: apa fungsi dan gunanya, siapa yang berhak mendapatkannya, bagaimana cara mengurusnya, kepada siapa petani mengurus, tidak pernah sampai ke petani. Atau jika pernah sampai mungkin hanya satu dua kali sehingga tidak menjadi perhatian.

Karakter petani tradisional diantaranya adalah malas berurusan dengan birokrasi disebabkan trauma masa lalu: berurusan dengan birokrasi itu berpeluang menambah beban hidup baru. Perubahan praktik birokrasi saat ini, kabarnya masih belum tersiar di kampung.

Kedua, salah satu yang sering diunggulkan dan digelorakan di akun medsos, bahwa modernisasi pertanian melalui alsintan (alat dan mesin pertanian) berdampak pada efisiensi dan usaha menarik agar ada proses kaderisasi sumber daya manusia di bidang pertanian.

Agar anak-nanak muda tertarik bekerja di sector pertanian. Agar sector pertanian, tidak lagi dianalogikan sebagai sector penuh peluh, kumuh berdebu, tapi adalah sector yang setara dengan sector lain, pelakunya juga juga bisa santai dan perlente.

Di kampung saya, kehadiran mesin pemanen padi (treser) misalnya, memang membuat kerja panen jadi efisien. Namun pada saat itu juga buruh tani (terutama laki-laki) kemudian banyak yang terusir dari kampung, harus merantau karena kehilangan pekerjaan: memanen padi.

Panen di kampung yang biasanya ditadai dengan bergairahnya ekonomi kampung saat ini mulai menurun. Panen ya berlalu begitu saja. Tidak ada kesan, tak ada kongkow-kongkow minum kopi buruh tani dan pekerja srabutan di kampung yang biasanya pada musim panen tenaganya juga tersedot di sector ini. Perputaran uang hanya mengalir dari petani ke cukong pemilik alsintan dan beberapa operatornya.

Di kampung saya, mekanisasi pertanian tetap tidak menarik anak-anak muda, tidak menghasilkan kader, karena sesungguhnya yang terjadi justru kapitalisasi dunia pertanian yang tidak ramah terhadap manusia (petani).

 Tentu saja ada pihak-pihak yang menikmati situasi ini; yakni petani dengan kepemilikan lahan yang luas, masyarakat yang hidupnya tidak bergantung di sector pertanian, tapi mereka memiliki lahan pertanian (misalnya: pedagang, pegawai neregi, guru, dll).

Padahal, bukankah BPS sudah tegas menyampaikan bahwa petani padi di Jawa kepemilikan lahannya rata-rata 0,25 ha. Sisanya adalah buruh tani yang meskipu mereka bergantung hidupnya pada sector pertanian, tapi mereka tidak memiliki lahan.

Ketiga, di akun medsos, pengenalan-pengenalan tentang benih unggul, pupuk organic, pertanian yang ramah lingkungan dan berkelanjutan dikumandangkan. Produksi grafisnya bagus, informatif dan menarik.

Saya sebagai warga kampung yang aktif berselancar di medsos dan senang mengkoleksi grafis-grafis yang informatif semacam itu, senang mengumpulkannya. Pada saat senggang biasanya saya baca. Pada saat ada momentum pertemuan warga biasanya juga saya sampaikan.

Di kampung saya, hampir tidak ada petani yang memahami bahwa benih merupakan salah satu aspek keberhasilan. Mereka tidak pernah menyoal hal itu. pedomannya adalah: para tetangga menggunakan benih apa, ya itu jadi pilihan bersama.

Cerita-cerita soal beredarnya benih baru biasanya mengemuka dari warga yang tidak bergantung di sector pertanian (seperti: guru) dan itu-pun tak menghasilkan ketertarikan bagi petani. 

Pupuk organic sudah dibicarakan, tapi juga masih belum dianggap komponen penting. Hanya bagian pemanis pupuk kimia. Petani memahami, penjualan pupuk organic untuk pembelian paket pupuk bersubsidi itu hanya sekedar kebijakan administrative: "saiki nek tuku urea, dikanthili pupuk organic. Nek gak gelem gak didoli." (sekarang kalau beli urea, disertai pupuk organic. Kalau tidak mau, kita tidak dilayani).

Tentang pertanian yang ramah lingkungan, saya pernah mengadukan praktik pembakaran jerami sisa panen di sawah karena bagi saya, membakar jerami di sawah berdampak negatif bagi lahan pertanian: lahan semakin gersang, serangga-serangga baik berpeluang eksodus dan mati.

Reaksi para petugas lapangan pertama kali cukup menarik; yanki dengan membantah tidak ada praktik pembakaran dengan disertai bukti video keberadaan mereka di lapangan. Namun  setelah kemudian saya kembali mengkonfirmasi responnya berbeda. Diantaranya bahwa pembakaran dilakukan petani untuk percepatan persiapan peanaman palawija: jagung, kacang hijau. Juga muncul ungkapan bahwa mendidik orang dewasa (petani) itu sulit. Tidak seperti mendidik anak sekolah.

Sesungguhnya pesan saya atas aduan itu adalah: kenapa petani tidak diberi pemahaman bahwa membakar lahan itu merugikan seperti yang saya maksud diatas. 

Selain itu ketika masuk musim palawija dan kemarau, bukankah keberadaan jerami justru bisa digunakan untuk mulsa, penyimpan air yang bisa membantu tanaman dan meringankan petani soal siram-menyiram tanaman. Hal yang sederhana namun penting. Sayang jika tidak menjadi pemahaman bersama: ya petugas, ya petani.

Keempat, soal program asuransi pertanian padi. Di media mainstream seperti koran dan situs-situs media online pejabat sudah sering membicarakan. Di akun medsos kementerian bahkan menjadi salah satu program unggulan. 

Di kampung saya yang warganya hampir 100 persen petani, saat saya bertanya tentang program ini, tidak satu-pun dari mereka yang mengetahui.

Beberapa paradok ini hanya contoh. Masih banyak paradok lain. Seyogiyanya, kita harus sedikit demi sedikit mengakhiri semua itu. Cita-cita luhur pemerintah untuk dunia pertanian yang tercantum di tagline-ragline akun medsos instansi dan para pejabat, membutuhkan keseriusan kerja. Euforia medsos tak bisa dihindari, penyebaran informasi sagat penting untuk terus dilakukan, namun kerja lapangan dan pengungkapan fakta tidak boleh diabaikan, karena fakta lapangan adalah panduan penting untuk merencanakan program yang presisi.

Tulisan ini subyektif dan kasuistik. Tidak bisa di generalisasi. Namun demikian, hal-hal yang terungkap dalam  tulisan ini berpeluang terjadi di banyak tempat di Pulau Jawa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun