KPU Provinsi DKI pada hari Senin (24/10) telah menetapkan 3 (tiga) pasangan calon gubernur dan wakil gubernur DKI yang memenuhi persyaratan untuk ikut dalam pilkada DKI 2017.
Tiga pasangan tersebut adalah Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)-Djarot Saiful Hidayat, Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni, dan Anies Baswedan-Sandiaga Uno. Hari ini Selasa (25/10) KPU Provinsi DKI akan menggelar pengundian nomor urut pasangan cagub-cawagub.
 Pasangan cagub-cawagub Anies Baswedan-Sandiaga Uno telah menyatakan tidak masalah mendapatkan nomor urut berapa pun karena nomor urut hanyalah simbol, yang penting adalah bagaimana pasangan calon memiliki ide dan gagasan.
Lantas sejauh manakah pengaruh nomor urut pasangan terhadap tingkat keterpilihan pasangan calon?
Penulis berpendapat bahwa meskipun DKI Jakarta merupakan provinsi dengan tingkat pendidikan penduduk terbaik di Indonesia, namun masih ada sekitar 35% calon pemilih di DKI yang latar belakang pendidikannya di bawah SLTA. Artinya, boleh dikatakan bahwa calon pemilih di DKI tidak semuanya menggunakan rasionalitasnya untuk menilai visi, misi, ide, gagasan cagub-cawagub. Mereka cenderung menggunakan sisi emosional, kedekatan, kehafalan, keterkenalan pasangan calon untuk menentukan pilihannya.Â
Apalagi dari hasil survei beberapa lembaga survei dinyatakan bahwa pemilih yang tidak menjawab/belum menentukan pilihannya lebih dari 10%. Calon pemilih yang belum menentukan pilihannya ini akan sangat dipengaruhi oleh lingkungan dan situasi pada masa kampanye, bahkan ada yang baru menentukan pilihannya saat berada di bilik suara.
Kembali ke pertanyaan sebelumnya sejauh manakah pengaruh nomor urut pasangan terhadap tingkat keterpilihan pasangan calon. Sepertinya, kalau harus memilih, pasangan calon cenderung akan memilih nomor urut 2. Mengapa? Setidaknya ada 3 (tiga) alasan yang bisa dikemukakan di sini.
Pertama. Angka 2 jika direpresentasikan dengan dua jari telunjuk dan jari tengah terbuka akan membentuk huruf V yang merupakan kependekan dari "Victory" yang berarti Kemenangan. Di pilpres 2014 lalu, sangat populer istilah Salam Dua Jari. Tapi lembaran pilpres 2014 lalu sudah ditutup. Ini adalah ajang Pilkada DKI 2017.
Kedua. Dalam kertas suara yang akan dipilih oleh calon pemilih, pasangan nomor urut 2 letaknya pasti di tengah atau berada diantara pasangan nomor urut no. 1 dan 3, sehingga jika masih ada pemilih yang bimbang di bilik suara, berdasarkan statistik distribusi normal maka ada kecenderungan calon pemilih memilih di tengah (dalam hal ini pasangan calon nomor urut 2).
Ketiga. Seperti kita ketahui pada masa orde baru di bawah presiden Soeharto, dimana saat itu (1977-1997) hanya diikuti oleh 3 (tiga) partai politik yakni PPP, Golkar dan PDI, pemenangnya selalu pasangan nomor urut 2, dalam hal ini Golkar, terlepas ada tidaknya kecurangan dalam pemilu kala itu.
 Dari alasan-alasan yang dikemukakan di atas, maka sepertinya pasangan calon akan memiliki preferensi memilih nomor urut 2 (jika boleh memilih). Jika tidak mendapat nomor urut 2, maka nomor urut favorit berikutnya adalah nomor urut 1. Harapannya dengan nomor urut 1, mereka bisa menjadi juara 1 dalam perolehan suara di pilkada 2017 nanti. Nah, yang mungkin agak dihindari adalah nomor urut 3. Disamping nomor urut paling buncit, pada kertas suara pasangan nomor urut 3 letaknya di paling kanan. Jika pemilih (terutama yang belum menentukan pilihannya sampai di bilik suara) mencoblos menggunakan tangan kanan maka sering kali, tanpa disengaja, gambar pasangan nomor urut 3 tertutup oleh tangan kanan pemilih sendiri.
Sekali lagi ini hanyalah kecenderungan, probabilitas dan tidak pasti. Apalagi seperti kita ketahui pada pilkada DKI tahun 2012 lalu pasangan Jokowi-Ahok yang berhasil menjadi pemenang juga mendapat nomor urut 3, meskipun pada saat itu pesertanya ada 6 (enam) pasangan calon.
Namun berapa pun nomor urut pasangan calon, angka hanyalah angka, bilangan, simbol, numerik yang tidak selalu menentukan. Yang terpenting justru adalah bagaimana pasangan calon memiliki keinginan yang besar untuk menjadikan Jakarta lebih baik, lebih nyaman, lebih adil, lebih beradab, lebih bersahabat, lebih maju setidaknya dalam 5 tahun ke depan.
Memimpin Jakarta berati memimpin Ibu Kota negara. Permasalahan yang ada tentu lebih banyak dengan tingkat kompleksitas yang lebih tinggi dibandingkan daerah-daerah lainnya. Seperti namanya daerah khusus, maka DKI memiliki kekhususan-kekhususan yang tidak dimiliki oleh daerah lainnya. Bahkan pemenang pilkada DKI pun harus mengantongi suara 50%+1 bukan 30%+1 seperti daerah lainnya di Indonesia. Walikota dan Bupatinya pun tidak dipilih melalui pilkada melainkan ditunjuk oleh Gubernur. Singkatnya, Jakarta adalah daerah khusus yang menjadi barometer dan representasi Indonesia.
 Mari kita tunggu hasil pengundian nomor urut peserta pilkada DKI 2017 yang rencananya akan dilakukan oleh KPU Provinsi DKI hari Selasa (25/10) sore atau malam hari ini.
Semoga semua proses demokrasi ini berjalan dengan lancar, aman, tertib dan damai.
 #SalamDamai
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H