Inraini F. Syah, SKM.
Siang ini seorang ibu melahirkan di Poskesdes tempat aku ditugaskan. Alhamdullillah semua berlangsung lancar. Sang Ibu yang berusia 22 tahun melahirkan seorang putra dengan selamat. Sejak awal kehamilan Ibu ini selalu rajin memeriksakan kehamilannya. Dan setiap datang, beliau selalu didampingi oleh Sang Suami.
Saat malam tiba, sambil membaca buku di teras Poskesdes, saya berbincang dengan Sang Suami yang sekarang telah resmi menjadi seorang Ayah. Kami berbincang tentang siapa yang akan menemani ibu dan bayinya malam ini. Ayah baru ini menjawab, kalau tidak masalah jika dirinya sendiri yang menunggui semalaman.
“Sudah biasa, Bu Bidan, saya di rumah juga tahan mata.” Maksudnya beliau biasa tahan tidak tidur semalaman.
“Di rumah saya biasa tidur jam tiga pagi, atau malah tidak tidur semalam penuh.” Sambungnya. Katanya dengan nada suara yang... sedikit bangga. Hmm.
Saya sendiri sedikit kaget dengan penjelasan dan intonasi suaranya. Kedengaran buat beliau "tidak tidur semalaman" itu adalah sebuah prestasi. Sesuatu yang hebat. Melihat saya terdiam, beliau menambahkan,
“Terbawa kebiasaan semasa bujangan, Bu Bidan. Saya sering menghabiskan waktu saya di warnet, sampai tidak tidur. Kebiasaan itu terbawa sampai sekarang.”
“Setiap hari?” Kejar saya penasaran.
“Ya, hampir setiap hari...” Jawabnya yakin.
Oow, saya jadi mafhum soal lingkaran hitam di sekitar mata beliau, juga mungkin alasan kenapa tubuhnya begitu kurus. Penasaran saya teruskan bertanya,
“Lalu, bagaimana Bapak bekerja di siang hari jika malamnya kurang tidur bahkan tidak tidur?”
“Ya, lemas, gampang lelah dan tidak konsentrasi Bu Bidan. Tapi bagaimana lagi, sudah kebiasaan.”
“Hmmm... sekarang umur Bapak, berapa?” Tanya saya. Aura promosi kesehatan terasa menggelegak di dada. Perilaku tak sehat Sang Ayah Baru ini membuat saya urung melanjutkan bacaan saya yang sebenarnya sangat menarik.
“Dua puluh sembilan, Bu.”
“Baru dua puluh sembilan. Masih tergolong muda dan sedang pada masa produktif dong ya. Tapi, lima belas sampai dua puluh lima tahun lagi, justru tenaga Bapak jauh lebih dibutuhkan lho.”
Si Ayah Baru memandangku, mendengarkan.
“Anak Bapak kan baru lahir, sehat, kalau selama 6 bulan pertama ini istri Bapak memberikannya ASI eksklusif, setelahnya Bapak dan Ibu memberikan asupan gizi yang baik, besar kemungkinan putra Bapak akan tumbuh menjadi anak yang sehat dan pintar. Lalu anak yang pintar ini harus sekolah dong. SD, SMP, SMA, trus kuliah. Nah, itu masih lama kan, masih 15 sampai 25 tahun lagi. Sekolah, kuliah, itu butuh biaya kan, Pak. Kalau Bapak tetap memelihara kebiasaan Bapak yang kurang tidur seperti ini, wah... jangan-jangan 15 tahun lagi, bukannya bisa mencarikan biaya untuk kuliah anak, malah Bapak yang akan menghabiskan banyak uang untuk bolak-balik rumah sakit...” Saya berhenti sejenak. Menunggu melihat reaksi beliau. Sang Ayah Baru terlihat tercenung sambil mengangguk-anggukan kepala. Hmm, reaksi yang lumayan bagus.
“Kita tidak pernah tahu kan, kalau Bapak memberikan kehidupan yang baik, pendidikan yang bagus, nantinya anak Bapak bisa berhasil seperti apa. Mungkin dia nantinya bisa jadi guru, dosen, dokter mungkin, atau polisi, atau bahkan bisa jadi Gubernur hebat seperti Jokowi... Dan kita tidak pernah tahu juga, jika Bapak tidak menjaga kesehatan, bisa-bisa anak Bapak tidak akan pernah menjadi siapa-siapa... Malah mungkin nanti tidak bisa tamat SMA. Kalau sudah begitu, itu berarti Bapak yang salah, lho. Semua hanya gara-gara, Bapak tidak mau merubah kebiasaan buruk Bapak yang suka tidak tidur semalaman itu...”
Sang Ayah Baru mengangguk-anggukan kepalanya semakin keras, sambil matanya lekat memandang Sang bayi melalui pintu kamar yang sedikit terbuka. Agak lama baru beliau menjawab,
“Iya, benar juga ya Bu Bidan. Saya sudah punya anak sekarang. Tanggung jawab saya sudah semakin besar.”
Saya tersenyum simpul. Semoga pembicaraan barusan masuk ke hatinya, dan perlahan bisa merubah kebiasaan yang tidak baik itu. Istirahat penting bagi setiap makhluk hidup. Mesin saja perlu istirahat, tho? Setelah beberapa pembicaraan tentang hal lain, Sang Ayah Baru ini permisi. Katanya mau keluar sebentar untuk merokok. Saya mengangguk mengiyakan sambil tersenyum. Mungkin lain kali, saya akan berbincang tentang bahaya merokok pula. Ya, mungkin lain kali.
Hmmm, terkadang sesuatu yang telah menjadi kebiasaan tak lagi kita anggap sebagai hal yang perlu dibenahi. Padahal kebiasaan itu mungkin saja merenggut masa depan individu lain yang notabene orang-orang terdekat kita. Kesehatan bukan cuma untuk diri sendiri. Tapi juga untuk memenuhi kewajiban kita pada keluarga, bangsa, bahkan pada Yang Kuasa. Maka jangan bilang ini cobaan Tuhan jika kita terkena penyakit akibat kebiasaan buruk dan kelalaian kita menjaga kesehatan. Itu hubungan sebab-akibat (kata lain dari hukuman, mungkin). Jangan juga sesali, jika gara-gara kebiasaan buruk yang kita anggap sepele, banyak anak-anak yang mungkin seharusnya sehebat Jokowi, malah tak jadi....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H