Mohon tunggu...
Dimitri Zen
Dimitri Zen Mohon Tunggu... -

Humanioroid....

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Mencoba Memahami Neo-Liberalisme

6 Agustus 2011   07:58 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:03 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Dulu, seiring dengan percaturan politik menjelang pemilu presiden, istilah Neoliberalisme sering muncul. Rating kemunculannya susul-menyusul dengan istilah ekonomi kerakyatan, seakan dua kontradiksi yang sedang bersaing. Pasca pertemuan G-20 di Pittsburg AS tahun 2009, istilah itu juga masih menjadi momok. Dari runut kata saja sudah berbeda, yang satu adalah sebuah ideologi, sedang yang lain konsep ekonomi. Perdebatan ideologi pada dirinya selalu membutuhkan pemahaman intelektual.

Memahami Neo-Liberalisme tentu sebaiknya didahului dengan pengenalan pada apa yang disebut dengan Liberalisme Klasik. Paham ini menganut bahwa suatu tatanan ekonomi di masyarakat dilepaskan dari campur tangan penguasa (baca: Negara). Sebelum era liberalisme klasik, semua tatanan masyarakat, baik ekonomi, politik, sosial, budaya tidak bisa lepas dari campur tangan penguasa. Setelah pengaruh liberalisme menguat, maka tatanan ekonomi yang merupakan bagian - atau salah satu - dari tatanan masyarakat tidak dapat diatur lagi oleh penguasa. Tatanan ekonomi berjalan secara otonom mengikuti mekanisme pasar. Penggerak dari mekanisme pasar ini adalah harga, yang terbentuk dari dinamika keseimbangan permintaan dan penawaran. Dari sini terjadi perubahan tata nilai atas barang dan jasa yang semula memiliki 'nilai guna' menjadi 'nilai tukar' atau dikenal dengan komoditas. Dalam tata nilai ini, selembar kain untuk menjadi pakaian (nilai guna) menjadi selembar kain seharga Rp. 100.000,- (nilai tukar); atau sepotong roti untuk sarapan pagi (nilai guna) menjadi sepotong roti Rp. 7.500,- (nilai tukar). demikian seterusnya untuk komoditas - komoditas lain.

Maka, tatkala mekanisme ini berlaku bukan saja pada tatanan ekonomi, melainkan berpengaruh pada seluruh tatanan hidup masyarakat: politik, sosial, budaya, militer, ekonomi itu sendiri, bahkan agama. Liberalisme Klasik telah ter-upgrade menjadi Neo-Liberalisme. Di sini, di saat inilah kita dapat menyaksikan hubungan antar manusia hampir tidak bisa dilepaskan dari tata nilai transaksional yang diatur oleh harga (price) dalam dinamika supply dan demmand. Akibatnya perubahan tata nilai tidak hanya berlaku pada barang dan jasa sebagai alat pemuas kebutuhan dalam artian ekonomi klasik, melainkan hampir semua aspek kehidupan manusia telah berubah menjadi komoditas.

Sekarang ini kita tidak akan heran mendengar:
- Kursi Legislator Senayan Rp. 40 milyar,-
- Pilkada Calon Bupati Kab. X Rp. 5 milyar,-
- Sertifikat S1 Rp. 175 juta,-
- Menjadi Miss ABCD USD ... thousands,-
- Patent Tari Merak Rp. 275 juta,-
- Paket Umroh bersama Artis Sinetron Rp. xxx,-
- Training Religius ..... Rp. xxx,-
dst...

Follow on Twitter: @inprodic

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun