Mohon tunggu...
Inosensius I. Sigaze
Inosensius I. Sigaze Mohon Tunggu... Lainnya - Membaca dunia dan berbagi

Mempelajari ilmu Filsafat dan Teologi, Politik, Pendidikan dan Dialog Budaya-Antaragama di Jerman, Founder of Suara Keheningan.org, Seelsorge und Sterbebegleitung dan Mitglied des Karmeliterordens der Provinz Indonesien | Email: inokarmel2023@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Elegi Letusan Gunung Lewotobi

7 November 2024   17:29 Diperbarui: 7 November 2024   17:42 179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di balik awan yang merajut langit,
letusan itu bukan sekadar dentuman,
ia adalah tangisan bumi,
jerit dari relung terdalam tanah yang retak.

Gunung yang sunyi,
dalam megahnya ia menggugurkan lava,
menebarkan abu yang turun perlahan,
seolah berkata, "Inilah beban yang tak terucap."

Di kampung-kampung sepi,
angin membawa sisa-sisa rintihan,
di ladang, di jalan, di rumah-rumah yang kini diam,
hanya tertinggal jejak yang tak lagi hangat.

Lewotobi, dalam amarahmu tersimpan luka,
luka yang tak tampak, tak terdengar, namun terasa,
mengalir dalam sungai kecil di pipi seorang anak,
yang mencari hangat pelukan di tengah debu dan abu.

Hari itu, Minggu, 3 November 2024, tercatat di lembar lara,
sembilan jiwa berpulang dalam kepul asap dan bara,
terenggut dalam diam, di bawah langit kelabu,
meninggalkan jejak duka di hati yang merindu.

Orang-orang pergi, mengungsi ke tempat yang jauh,
meninggalkan mimpi-mimpi yang tertinggal di bawah langit kelam,
tanah yang dulu dipijak, kini memeluk kembali,
merengkuh segalanya, tanpa ragu, tanpa ampun.

Lewotobi, kini engkau bercerita tanpa kata,
menyeret simpati dari mereka yang menatap jauh,
mengirim doa pada duka yang tak terlihat,
karena letusanmu, adalah pesan dari alam yang terluka.

Dan kehilangan ini, goresan duka tak terhapus,
tertulis dalam abu, terlukis dalam debu,
pada ingatan yang tak lagi utuh, namun tetap tersimpan,
mengenang sembilan jiwa yang kini telah pulang.

Mungkin esok pagi, abu itu menghilang,
mungkin reruntuhan tersapu hujan,
namun dalam diam dan getir ini,
kau telah mengukir kenangan pilu di hati kami.

Salam berbagi, Ino, 7 November 2024

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun