Di balik awan yang merajut langit,
letusan itu bukan sekadar dentuman,
ia adalah tangisan bumi,
jerit dari relung terdalam tanah yang retak.
Gunung yang sunyi,
dalam megahnya ia menggugurkan lava,
menebarkan abu yang turun perlahan,
seolah berkata, "Inilah beban yang tak terucap."
Di kampung-kampung sepi,
angin membawa sisa-sisa rintihan,
di ladang, di jalan, di rumah-rumah yang kini diam,
hanya tertinggal jejak yang tak lagi hangat.
Lewotobi, dalam amarahmu tersimpan luka,
luka yang tak tampak, tak terdengar, namun terasa,
mengalir dalam sungai kecil di pipi seorang anak,
yang mencari hangat pelukan di tengah debu dan abu.
Hari itu, Minggu, 3 November 2024, tercatat di lembar lara,
sembilan jiwa berpulang dalam kepul asap dan bara,
terenggut dalam diam, di bawah langit kelabu,
meninggalkan jejak duka di hati yang merindu.
Orang-orang pergi, mengungsi ke tempat yang jauh,
meninggalkan mimpi-mimpi yang tertinggal di bawah langit kelam,
tanah yang dulu dipijak, kini memeluk kembali,
merengkuh segalanya, tanpa ragu, tanpa ampun.
Lewotobi, kini engkau bercerita tanpa kata,
menyeret simpati dari mereka yang menatap jauh,
mengirim doa pada duka yang tak terlihat,
karena letusanmu, adalah pesan dari alam yang terluka.
Dan kehilangan ini, goresan duka tak terhapus,
tertulis dalam abu, terlukis dalam debu,
pada ingatan yang tak lagi utuh, namun tetap tersimpan,
mengenang sembilan jiwa yang kini telah pulang.
Mungkin esok pagi, abu itu menghilang,
mungkin reruntuhan tersapu hujan,
namun dalam diam dan getir ini,
kau telah mengukir kenangan pilu di hati kami.
Salam berbagi, Ino, 7 November 2024