Dunia kerja dan kesibukan sering kali menjadi penghalang utama bagi proses bonding yang ideal.Â
Misalnya, di beberapa negara Eropa, lembaga penitipan anak menjadi pilihan umum bagi orang tua yang bekerja.Â
Pada saat itulah, bonding bisa menjadi sulit dijaga, dan transisi ke detachment sering kali tidak dapat dihindari.
Anak-anak yang tumbuh dalam situasi ini mungkin merasa kehilangan kedekatan dengan orang tua mereka, terutama dengan sosok ayah.Â
Hal ini mencerminkan sebuah garis logika sederhana: semakin mudah bagi orang tua menemukan alternatif untuk penitipan anak, semakin sulit bagi mereka mempertahankan ikatan emosional yang kuat dengan anak-anak mereka. Akibatnya, proses detachment lebih mudah terjadi seiring pertumbuhan anak.
Namun, penting untuk diingat bahwa faktor budaya juga berperan dalam menentukan seberapa positif proses bonding dan detachment.Â
Dalam budaya Eropa, misalnya, bonding secara alami berubah seiring bertambahnya usia anak. Pada usia sekitar 17 tahun, anak-anak umumnya dianggap mandiri, dan kepercayaan orang tua terhadap anak-anak mereka semakin besar.Â
Anak-anak diberikan kebebasan untuk mengatur hidup mereka sendiri. Ini sangat berbeda dengan budaya di Asia, di mana keterpisahan (detachment) pada usia yang sama sering kali dianggap sebagai hal yang negatif.
Di Indonesia, misalnya, anak yang terpisah dari orang tua pada usia remaja sering dianggap "hilang" dari keluarga.Â
Meskipun demikian, detachment tidak selalu bermakna buruk.Â
Dalam situasi tertentu, pemisahan antara orang tua dan anak bisa menjadi hal yang penting, misalnya ketika kesehatan atau keselamatan anak berada dalam risiko.Â
Jika orang tua memiliki kondisi yang dapat membahayakan anak, detachment menjadi langkah yang bijaksana demi kebaikan bersama.