Semakin sering menulis, saya semakin merasakan bahwa orang yang hobinya menulis harus mampu memasuki proses internalisasi di dalam hatinya | Ino Sigaze.
Sabtu, 27 Juli 2024 punya cerita sendiri yang unik. Hawa pagi berbeda dari hari kemarin. Hari ini, tatapan pertama saat pagi tertuju pada butiran embun yang bertengger pada bunga bogenfil merah di depan kamar.
Rasa suka serentak seperti memberontak dari dalam hati. Tak pernah lagi sejenak bertanya apakah ini adalah hobiku memotret pemandangan yang indah dan unik.
Sejenak ikut larut dalam rasa terpesona. Saya terpesona oleh kesegaran pada kelopak bunga dan daun-daun di sekitar kamarku ketika hujan pagi itu datang.
Hujan itu mengubah wajah bumi dan tumbuh-tumbuhan. Hujan pagi itu seperti siraman embun sukacita bagi bunga-bunga dan tanaman hijau.
Tanpa banyak mencari tahu apa artinya hobi, saya tersentak ketika melihat pada kolom statistik pribadi, ternyata selama ini saya sudah menulis tanpa mengatakan itulah hobi saya.
Menulis tanpa mengklaim hobi bagi saya itu karena beberapa alasan ini:
Pertama, saya ingat saat pertama menulis itu bukan karena suka, tetapi karena keterpaksaan. Tahun 1998 pertama mengalami suasana terpaksa menulis. Waktu itu, saya terpaksa menulis satu lembar halaman refleksi harian.
Menulis karena terpaksa itu tentu saja dari hasilnya selalu membuat orang malu untuk mengatakan itu karena hobi. Isi dan rasa dari refleksi selalu membingungkan.
Aroma tulisan singkat dengan panorama fiksi dan imajinasi liar tidak terarah mewarnai tulisan-tulisan itu. Berlagak bijak, namun terasa begitu dangkal wawasan dan pemahaman saat itu.
Jari-jari begitu kaku merangkai kata, kalimat, dan paragraf hingga membentuk satu kesatuan gagasan yang punya kandungan pesan dan makna.
Tidak heran, karena pada awalnya adalah keterpaksaan semata.
Kedua, hobi itu sebesar butiran wijen. Saya merasakan bahwa hobi itu seperti satu gairah kecil yang begitu sederhana muncul bagaikan satu aroma rasa wijen pada kue kembang goyang.
Dari tulisan-tulisan yang lahir dari situasi terpaksa itu, tercium rasa dan aroma oleh orang lain yang membacanya bahwa di sana ada benih hobi menulis.
Saat mendengar ungkapan lepas itu, terkadang heran dan tidak percaya. Hal itu karena saya sendiri merasa terlalu sederhana untuk mengatakan hobi saya menulis padahal saya baru menulis dua halaman.
Hobi itu begitu kecil, tetapi benih itu akan terus tumbuh dalam situasi apapun, entah terpaksa ataupun dalam kebebasan. Saya percaya bahwa hobi itu seperti benih hidup yang jika ditekan, maka di sana akan tersiksa.
Sekarang saya merasakan bahwa jika tidak menulis dalam sehari, terasa hidup tidak menarik dan tidak enak, bahkan nyaris terasa tidak ada jika tidak menghasilkan satu artikel dalam sehari.
Ketiga, hobi itu turun ke hati. Dalam perjalanan waktu sejak 1998 hingga 2024 ini, muncul kesadaran bahwa hobi itu tetap mesti ada dalam bngkai bimbingan.
Bimbingan (Begleitung) itu mencakup entah secara formal di jenjang pendidikan melalui kebiasaan menulis tulisan ilmiah, maupun bimbingan nonformal ketika membaca tulisan-tulisan penulis lainnya.
Hobi itu baru menjadi berbuah ketika hobi itu turun ke hati. Kesadaran ini muncul karena orang bisa saja punya konsep berpikir bahwa karena hobi saya menulis, maka saya bisa menulis sebanyak-banyaknya.
Hobi itu bisa saja menjadi dangkal karena tanpa pengendapan di dasar hati. Oleh karena itu, sekalipun itu adalah hobi, bagi saya ada proses yang tidak bisa dilewatkan yakni proses internalisasi.
Pada prinsipnya selalu ada sisipan pesan yang positif dan konstruktif dalam barisan-barisan sederhana dari tulisan kecil.
Ada letupan kata-kata yang baru dan menggetarkan hati, ada konstruksi kata dan komposisi baru yang terbentuk yang berhasil dilukis di sana.
Salam berbagi, Sabtu, 27 Juli 2024.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H