Mohon tunggu...
Inosensius I. Sigaze
Inosensius I. Sigaze Mohon Tunggu... Lainnya - Membaca dunia dan berbagi

Mempelajari ilmu Filsafat dan Teologi, Politik, Pendidikan dan Dialog Budaya-Antaragama di Jerman, Founder of Suara Keheningan.org, Seelsorge und Sterbebegleitung dan Mitglied des Karmeliterordens der Provinz Indonesien | Email: inokarmel2023@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Tragedi di Butler, Ketika Kebebasan dan Kekerasan Politik Berbenturan

17 Juli 2024   12:13 Diperbarui: 19 Juli 2024   02:47 384
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika kebebasan dan kekerasan berbenturan, sebenarnya yang muncul adalah tudingan dan teori konspirasi. Tetapi ada yang tidak boleh dilupakan adalah orang perlu mengkampanyekan politik tanpa kekerasan | Ino Sigaze.

Gelora semangat yang berkobar-kobar dari para pendukung Donald J. Trump sekejap terhenti ketika terdengar suara tembakan dan Donald J. Trump tertunduk dengan tetesan darah.

Ketika saya melihat tayangan ulang upaya pembunuhan itu, muncul spontan pertanyaan: What would become of their country? Aksi itu ternyata sangat menggemparkan jagat maya di seluruh dunia.

Upaya pembunuhan itu terjadi ketika ada begitu banyak sorotan kamera yang mencoba menangkap momen Donald J. Trump yang sedang berapi-api berkampanye di Butler, PA.

Di antara letusan kebebasan bersosial media terdengar suara tembakan yang tidak biasa. Apakah ini pertanda sesuatu? Apakah generasi sekarang sudah jenuh dengan bullying dan cercaan di media sosial sampai tega mengangkat senjata?

Upaya penembakan itu meninggalkan catatan sejarah tentang upaya penembakan di era kebebasan media sosial, diikuti dengan banjir gambar yang beredar. 

Publik tidak bisa menyangkal kenyataan bahwa tragedi itu adalah yang pertama di era ini, apalagi upaya pembunuhan itu ditujukan kepada Presiden Amerika atau mantan presiden. 

Dunia tahu betapa menakutkan situasi ini; jika tidak diatasi, ini sama dengan cerita tentang bobolnya keamanan dunia.

Terlepas dari tudingan, bahkan teori konspirasi yang merekayasa semua hal, tragedi itu tentu saja menjadi cambukan pedas bagi Amerika sendiri. 

Bagaimana kebebasan yang diberikan kepada siapa saja warganya untuk memiliki senjata mungkin sudah saatnya untuk dibicarakan lagi. Hentikan kekerasan! Hentikan penjualan senjata!

Dunia membayangkan bahwa momen kampanye itu akan berjalan tanpa kendala karena demokrasi di Amerika tetap melindungi hak hidup setiap warganya. Perlindungan dan kemanusiaan seharusnya menjadi prioritas dalam situasi apa pun.

Namun, semua itu menjadi relatif dengan adanya catatan sejarah upaya penembakan Donald J. Trump. Permainan kampanye yang bergerak begitu cepat dengan beredarnya sejumlah informasi seakan ingin memboikot publik dengan gagasan politik yang menolak calon pemimpin seperti Donald J. Trump.

Menolak gagasan politik tentu saja tidak sepahit dengan aksi menolak kehidupan dari figur politik. Upaya pembunuhan tokoh-tokoh penting di Amerika seakan menambah catatan pada halaman baru sejarah kelam Amerika setelah duka mendalam pada tahun 1963 dengan kematian John F. Kennedy dan pembunuhan Martin Luther King pada tahun 1968.

Kisah-kisah itu menjadi bukti tentang tingkat ketidaknyamanan politik di Amerika. Politik telah dihubungkan dengan senjata dan taruhan nyawa. 

Tragedi di Butler, Ketika Kebebasan dan Kekerasan Politik Berbenturan | Foto: The dailyduardian.com
Tragedi di Butler, Ketika Kebebasan dan Kekerasan Politik Berbenturan | Foto: The dailyduardian.com

Lebih menakutkan lagi bahwa pemberontak terhadap model keramahan politik seperti itu datang dari generasi muda berusia sangat muda, 20 tahun. Kita berharap bahwa amarah pelaku pembunuhan Donald J. Trump tidak menjadi wakil dari simbol protes kaum muda umumnya di sana.

Saling sinis dan memberi angka-angka terhadap kinerja figur politik ternyata masih jauh lebih ramah daripada harus mengangkat senjata tanpa kata-kata. 

Refleksi dari wajah perpolitikan Indonesia tentu saja bisa menjadi model yang perlu dipelajari rakyat Amerika. Kaum muda Indonesia, saat menyaksikan aksi sinis dan saling menilai figur andalan mereka, hanya menangis dan mendoakan tanpa senjata. Mereka melepaskan rasa kecewa dengan cuitan di media sosial.

Keramahan politik harus dikampanyekan saat ini di mana saja. Karena keramahan politik itu akan menjunjung tinggi martabat manusia dan menekan teori konspirasi yang berujung pada saling tuding dengan benci serta amarah. 

Meskipun demikian, tantangan baru dunia kita dewasa ini tentu saja bahwa di era meme, X post, Truths, Threads, dan TikTok, introspeksi tidak akan pernah menjadi suasana yang dominan dan mengubah rencana serta tendensi kebencian manusia.

Sebagian media dipakai dengan model dua wajah: entah itu untuk mengungkapkan amarah mereka, atau wajah berikutnya tentu saja sebuah lelucon, komedi, dan tertawaan. 

Dunia editan yang semakin memperburuk suasana tentu saja sangat potensial. Tidak bisa dilupakan bahwa sebuah foto dari Donald J. Trump yang sedang mengepalkan tangan dan bendera Amerika berkibar di atas kepalanya menjadi ikon dalam sekejap.

Entah siapa yang tidak suka menyaksikan foto itu, tetapi transisi image terjadi begitu cepat; dalam sekejap telah beredar foto Donald J. Trump yang memiliki wajah berbeda dengan lelehan darah dari telinganya. 

Peluru yang merobek telinga Donald J. Trump seakan memberikan pesan misterius dari kalangan muda kepada Trump supaya belajar mendengarkan: coba dengar suara kaum muda yang sedang berpikir tentang Amerika.

Tentu saja dinamika pergulatan politik Amerika saat ini berada pada poros tegangan antara kekuatan demokrasi dan fasisme yang tumbuh dari kubu konservatif. 

Tidak heran aksi saling tuding bermunculan. Perwakilan paling senior Donald J. Trump, termasuk Vance dan Senator Tim Scott dari Carolina Selatan, menyalahkan Presiden Biden dan Demokrat terkait tragedi itu. Vance menulis, "Today is not just some isolated incident."

"Hari ini bukan sekadar insiden yang terisolasi" tentu saja menjadi satu pernyataan yang memancing polemik dengan gagasan ingin meredam kampanye Presiden Biden yang terkesan kuat menuduh Donald J. Trump sebagai seorang fasis otoriter.

Tidak bisa dilupakan bahwa aksi saling tuduh itu adalah satu sisi dari strategi politik, tetapi kenyataan lain yang bisa dilihat publik adalah bahwa kubu petinggi Demokrat, termasuk Biden, Wakil Presiden Kamala Harris, dan mantan Presiden Barack Obama, secara umum mengutuk kekerasan politik. 

Dalam arti ini jelas terlihat bahwa pemberantasan kekerasan politik adalah bagian dari visi yang diperjuangkan oleh Biden.

Poin penting dalam hal ini yang perlu dipelajari oleh publik dunia tentu saja adalah pesan tentang politik tanpa kekerasan dan keramahan berkampanye, baik itu di media sosial maupun dalam kenyataan sehari-hari.

Salam berbagi, Ino, 17 Juli 2024.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun