Riuh suara pendukung terbang seperti kepulan asap rokok.Â
Sejenak di depan mata, berputar-putar, lalu lenyap entah ke mana.Â
Diam mendekap dalam sunyi mungkin sudah terlambat.Â
Emosi telah merenggut sunyi dalam kalbu, hingga kata-kata bual dan merendahkan tak dapat ditutup-tutup.Â
Angka-angka berkibar dengan energi kritik tajam merendahkan, hingga jiwa tersayat.Â
Tersayat bisu karena direndahkan hingga jiwa meneteskan air mata.Â
Teringat angka 5 dan 11 dari 100 yang pernah terbang bagai pusaka terlarang dari gunung Salak menembusi jantung sasaran dibarengi sinisan tertawa.Â
Terlalu sakit dan pedas momen itu. Tapi itu moment rahmat dan pengangkatan dari yang paling hina.Â
Momen hening yang memunculkan jati diri yang kuat dan memikat.Â
Suatu penampakan aura spiritual dari kebersihan jiwa.Â
Pada sisi yang tidak terkatan itu adalah kejatuhan tanpa nama.Â
Jika kamu hebat, jangan tunjukkan kehebatan dengan merendahkan lawan bicara.Â
Jika kamu pintar, tunjukkan kepintaranmu tanpa menelanjangi orang lain dengan lidah yang menjilat bibir.Â
Jika kamu bijaksana, tunjukkan kebijaksanaanmu tanpa tatapan mata yang liar.Â
Orang yang rendah dan hina dina akan diangkat-Nya.Â
Salam berbagi, Ino, 15.02.2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H