Saat hari semakin sore, ibu duduk sambil menjulurkan kakinya lurus ke arah pintu. Ia menatap ke pintu, menantikan kedatangan anak dan cucunya. Ia menunggu dengan penuh rindu.
Lama ia duduk sendirian di sana tanpa ada yang bertanya mengapa ia harus berada di situ. Mungkin, ketika ia menjadi buta dan pikun, tak ada lagi waktu untuk merenung masa muda dan kegembiraan bersama teman-temannya dulu?
Ibu tidak perduli siapa yang mendekat, selalu diajukan pertanyaan yang sama, "Kapan anak saya pulang?"
Pulang untuk menemui sang ibu adalah pertemuan yang penuh rindu, diwarnai oleh pertanyaan yang sama dari waktu ke waktu.
Menulis kenangan bersama ibu ibarat membuka kembali halaman-halaman buku kehidupan dan buku tentang masa depan.
Beribu kenangan tercatat indah dalam ingatan anak-anak dan cucu. Meski ia terlihat lusuh, pengorbanannya sejak dulu sudah tak terhitung.
***
Mulai dari rahim hingga air susu, ibu tidak pernah mengeluh, karena segalanya dilakukan untuk kehidupan buah hatinya yang paling dirindukannya dari waktu ke waktu.
Ibu hanya menghitung usia untuk berubah dan terlepas dari genggaman kasihnya. Sedikit lagi, mereka akan bersekolah dengan cita-cita setinggi langit.
Terasa mustahil saat masa kecil ibu memberikan sebuah buku, padahal aku belum bersekolah dan belum mengenal abjad apa pun. Saya mengingat itu dan merasa bahwa ibuku buta sejak dulu.