Mohon tunggu...
Inosensius I. Sigaze
Inosensius I. Sigaze Mohon Tunggu... Lainnya - Membaca dunia dan berbagi

Mempelajari ilmu Filsafat dan Teologi, Politik, Pendidikan dan Dialog Budaya-Antaragama di Jerman, Founder of Suara Keheningan.org, Seelsorge und Sterbebegleitung dan Mitglied des Karmeliterordens der Provinz Indonesien | Email: inokarmel2023@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Paradigma Pendidikan Masyarakat Lokal, Antara Keterlibatan dan Kontinuitas Pariwisata

21 Desember 2023   08:56 Diperbarui: 23 Desember 2023   08:16 366
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Paradigma pendidikan masyarakat lokal: Antara keterlibatan dan kontinuitas | Dokumen pribadi oleh Ino Sigaze. 

Kekuatan masyarakat terletak pada akar lokalnya. Setiap desa, setiap kampung, memiliki cerita dan kebijaksanaan tersendiri. Kita tidak bisa memahami dunia sepenuhnya tanpa memahami kehidupan sehari-hari di tempat-tempat terpencil. Keterlibatan dalam masyarakat lokal adalah jembatan ke kebijaksanaan kolektif.

Apa yang dipikirkan orang saat ini ketika berbicara tentang masyarakat lokal dan pariwisata? 

Di sana akan ada kerangka konseptual sebagai dasar gagasan yang memperlihatkan hubungan pemahaman, baik itu masyarakat lokal dengan alam di sekitarnya, maupun keterlibatan masyarakat lokal dalam kerangka berpikir jangka panjang.

Kita mengakui bahwa paradigma pendidikan masyarakat lokal tentu saja menjadi aspek penting dalam pembahasan tentang pariwisata dan kemandirian ekonomi.

Dalam filsafat ilmu, paradigma merujuk pada kerangka kerja konseptual atau model dasar yang digunakan oleh sekelompok ilmuwan untuk memahami dunia.

Filsuf Thomas Kuhn dalam bukunya "The Structure of Scientific Revolutions" telah memperkenalkan betapa pentingnya suatu paradigma.

Kuhn menggarisbawahi pentingnya ilmu pengetahuan yang matang. Kematangan itu bisa dibuktikan dengan memberikan latar belakang yang memungkinkan para praktisi di lapangan untuk mengidentifikasi masalah-masalah non-sepele atau anomali dengan suatu paradigma.

Tulisan ini mencoba mengkaji tentang betapa pentingnya paradigma pendidikan masyarakat lokal antara keterlibatan dan kontinuitas pariwisata. Ada beberapa sudut pandang penting yang perlu diperhatikan:

1. Non-trivial Problems

Masalah-masalah yang tidak sepele dalam konteks masyarakat lokal dan pariwisata tentu saja banyak. Oleh karena itu, perlu adanya identifikasi yang cermat.

Paradigma pendidikan masyarakat lokal: Antara keterlibatan dan kontinuitas | Dokumen pribadi oleh Ino Sigaze. 
Paradigma pendidikan masyarakat lokal: Antara keterlibatan dan kontinuitas | Dokumen pribadi oleh Ino Sigaze. 

Kenyataan menunjukkan bahwa identifikasi masalah adalah proses yang sebenarnya sangat penting, namun tidak selalu dianggap penting.

Orang berpikir bahwa pariwisata sudah bisa hidup hanya dengan jawaban "ya" dari sekelompok orang dari masyarakat lokal. 

Tampaknya terlalu menganggap sepele hal-hal yang sangat penting dan esensial.

Satu hal yang sering dilupakan tentu saja soal edukasi masyarakat lokal. Edukasi masyarakat lokal terkait pariwisata itu ternyata sangat kompleks.

Kita tidak bisa membicarakan hanya sekali dalam satu pertemuan dengan masyarakat lokal atau tentu saja tidak cukup dengan satu seminar tentang bagaimana keterlibatan masyarakat lokal dalam gelombang pariwisata yang kian menggeliat saat ini.

Pertanyaan yang penting untuk mengetahui seberapa siap suatu kelompok masyarakat lokal, misalnya, apakah mental dan kesadaran mereka sudah siap? Hal-hal unik apa yang bisa menjadi aset pariwisata kita? Bagaimana mengorganisir semua itu sehingga menarik dan berkelanjutan?

Jadi, pembahasan terkait masyarakat lokal dan pariwisata itu sangat penting dan karena itu membutuhkan suatu sudut pandang yang cermat dan identifikasi masalah yang jelas dengan kajian yang juga serius.

2. Sumber Daya Manusia di Tengah Globalisasi Digital

Sumber daya manusia dibutuhkan dalam setiap rencana besar untuk suatu perubahan. Termasuk dalam hal ini konsep dan gagasan tentang pariwisata dan masyarakat lokal.

Tanpa sumber daya manusia yang memadai, maka gagasan besar tidak akan berubah menjadi kenyataan yang menjanjikan. 

Praktisnya, bahwa konsep tentang pariwisata dan masyarakat lokal, bahkan desa wisata, tidak akan bisa direalisasikan hanya dengan pemahaman yang sederhana.

Oleh karena itu, yang dibutuhkan tentu saja sebuah kerangka perencanaan yang matang yang telah dikaji dengan baik, bukan saja soal topografi alamnya, tetapi juga soal objek wisata yang ingin dipromosikan dengan kemasan narasi dan literasi yang menarik di era digital ini, kemampuan komunikasi yang bisa diandalkan, pemahaman dan wawasan wisata yang memadai, dan segala bentuk persiapan fisik dan non-fisik di lapangan.

Gambaran tentang segala yang perlu dipersiapkan itu tidak bisa cukup hanya sebatas disampaikan kepada masyarakat lokal, karena bagi masyarakat lokal mereka merasa bahwa merekalah yang akan menjadi pemilik atau tuan rumah (Gastgeber) dari proyek itu sendiri.

3. Hero Figur sebagai Penggerak dan Pemotivasi di Lapangan

Pembangunan pariwisata berbasis masyarakat lokal tidak bisa berlanjut tanpa adanya hero figur yang menjadi penggerak dan pemotivasi, bahkan menjadi tulang punggungnya.

Konteks masyarakat lokal seperti di Flores, misalnya, hero figur itu seharusnya orang yang memiliki wawasan dan koneksi global, kemampuan finansial yang mencukupi, dan juga ketokohan yang patut ditiru.

Modal dasar pendidikan hero figur tentu saja sangat memengaruhi kebijakan selanjutnya. Modal dasar seperti itu sangat dipertimbangkan karena masyarakat punya tuntutan sendiri dan juga punya kecurigaannya yang unik.

Saya masih di tahun 2016 ketika saya pulang libur dari Jerman dan berusaha mengumpulkan masyarakat di kampung saya untuk berbagi wawasan tentang kampung pariwisata.

Dalam forum pembicaraan terbuka, tampaknya mereka menyambut baik sekali, namun dalam perjalanan waktu muncul pertanyaan seperti ini: kami dapat apa dari itu semua?

Saat itu saya menjawab keuntungan akan datang bagi mereka yang kreatif. Praktisnya, jika orang dari luar daerah, bahkan dari luar negeri datang, maka kita sebagai masyarakat lokal perlu menyiapkan keterampilan tangan untuk dijual sebagai souvenir.

Lebih dari itu tentu saja pendapatan kita akan bertambah sesuai dengan kemampuan kita sendiri. Bagi petani yang kreatif, mereka hanya dibutuhkan menanam tanaman buah seperti mangga, jeruk, pisang, pete, kelapa, nenas, sirsak, advokad, dan banyak lagi tanaman buah lainnya.

Artinya, bahwa kita tidak bisa berjalan sendiri-sendiri, melainkan punya konsep bersama. Petani sesuai dengan kemampuan mereka, mereka perlu menyiapkan buah-buahan, sedangkan bagi mereka yang punya kemampuan lain seperti di bagian pendidikan, perlu disiapkan penjelasan-penjelasan terkait sejarah di wilayah itu.

Sedangkan bagi masyarakat lokal yang memiliki kemampuan seni misalnya, mereka bisa menyiapkan alat-alat musik tradisional dan mendesain acara malam budaya (Abendkultur), lalu disediakan lagi ukiran-ukiran, hasil kerja tangan seperti anyaman topi, dan hiasan lainnya.

Kemampuan-kemampuan itu memang sudah ada di sana. Namun dalam perjalanan waktu, saya tidak bisa setiap bulan berbicara dengan mereka, makanya gairah persiapan mereka kembali lesu.

Rupanya, semua rencana itu akan menjadi mungkin, jika hero figur selalu ada di tempat dan dilakukan pertemuan rutin terprogram dan motivasi tanpa kenal lelah, bahkan bekerja sama dengan mereka.

Jadi pada prinsipnya, paradigma pendidikan masyarakat lokal perlu dipahami dalam hubungannya dengan beberapa aspek ini:

Pertama, bukan saja soal konsep-konsep kepariwisataan yang perlu dibicarakan kepada masyarakat lokal, tetapi soal wawasan keterbukaan untuk suatu perjumpaan baru dengan mereka yang berbeda.

Kedua, bukan saja soal bisa bicara bahasa asing, tetapi juga soal kemampuan dan skill komunikasi yang menarik dan memikat dengan basis etika dan tata krama masyarakat lokal.

Ketiga, pariwisata itu bukan saja soal menunggu orang lain datang, tetapi juga soal persiapan seperti apa kita yang siap menerima. Apa yang dijual untuk orang?

Keempat, pariwisata itu bukan saja soal narasi dan literasi promosi di era digital, tetapi juga soal kontinuitas atau keberlanjutan dengan koneksi luas.

Kelima, pariwisata itu bukan saja soal keterlibatan masyarakat lokal dalam semua lini persiapan, tetapi juga hero figur yang setia dan rela berkorban.

Salam berbagi, Ino, 21 Desember 2023

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun