Pengalaman sebagai formator di dalam negeri selama 7 tahun dan 3 tahun di luar negeri di Jerman memberi saya refleksi bahwa kolaborasi tidak hanya harus berdampak pada hubungan guru dan orangtua, tetapi juga harus berdampak khusus pada anak itu sendiri.
Banyak keluarga hanya menitipkan anak mereka ke lembaga pendidikan karena sulit mengurus anak. Dalam konteks ini, orangtua ingin melepaskan tanggung jawab mereka. Namun, kita bisa bertanya, di mana rasa cinta orangtua pada anak?
Tidak jarang ditemukan anak-anak kehilangan kepercayaan diri, gemetaran ketika berdiri di depan umum. Mengapa ini terjadi?Â
Orangtua dan guru sering tidak menyadari hal ini dan jarang membahasnya. Padahal, kepercayaan diri dan rasa cinta tumbuh melalui komunikasi dan relasi yang baik di rumah bersama orangtua dan di sekolah bersama guru.
Anak-anak tumbuh dengan rasa percaya diri yang baik hanya jika kolaborasi antara guru dan orangtua berjalan baik. Orangtua bisa menyampaikan kepada guru bahwa anaknya seperti ini di rumah dan mencari tahu penyebabnya.
Ada hal yang bisa ditangani di sekolah dan ada hal yang hanya bisa ditangani di rumah oleh orangtua. Tanpa kolaborasi, kita kehilangan kesempatan untuk berbagi pengalaman dalam konteks mendukung formasi pembentukan mental dan karakter anak.
4. Mempertimbangkan Catatan Xunzi (Hsün Tzu, c. 310—c. 220)
Kedalaman cara berpikir tentang pendidikan tidak selalu sulit dimengerti dan menjadi rumit untuk dikonseptualisasikan. Buktinya bisa ditemukan dalam gagasan filsuf Cina Xunzi tentang pendidikan.
Menariknya, Xunzi merenungkan konsep membuat periuk dari tanah liat untuk menggambarkan betapa pentingnya pendidikan sebagai proses transformasi.
Ini penting bagi Xunzi: Manusia tidak akan mampu mengubah sifat mereka tanpa seorang guru yang menunjukkan kepada mereka apa yang harus dilakukan.Â
Tidak hanya itu, baginya proses transformasi harus menjadi sebuah ritual yang dilakukan berulang-ulang sampai orang merasa memiliki cinta dan mencintai itu.