Bagi seorang penulis, perjumpaan itu adalah hadiah terindah yang bisa ditulis dan dibagikan | Ino Sigaze.
Hidup manusia diwarnai dengan perjumpaan. Perjumpaan itu bisa saja terjadi sesuai rencana. Namun ada juga perjumpaan yang terjadi secara spontan. Entah spontan atau terencana, namanya perjumpaan itu pasti punya ceritanya sendiri.
Antara perjumpaan dan cerita tentangnya akan punya imbas pesan, ketika perjumpaan itu direfleksikan dan ditulis.
Dari sudut pandang tertentu, orang bisa saja mengatakan bahwa perjumpaan itu adalah hadiah terindah. Pertanyaan mengapa perjumpaan itu dikatakan sebagai hadiah terindah?
Berikut ada 5 alasan mengapa perjumpaan itu adalah hadiah terindah?
1. Perjumpaan itu menyisakan gagasan-gagasan baru dan segar
Bagi sebagian penulis mungkin pernah mengalami bahwa pada saat tertentu terasa sulit menemukan ide-ide untuk menulis. Apa kata bijak di saat-saat seperti itu bagi seorang penulis?
Seorang penulis mungkin akan menempuh berbagai cara agar ia bisa menulis kembali. Ada yang berusaha membaca buku dan karya-karya sesama penulis.
Ada pula tipe penulis yang pada "kering" dia perlu menyepi dan menikmati keheningan sambil berusaha mendengar suara alam yang menyibakkan ide-ide. Tapi ada pula yang berusaha pergi dan menikmati perjumpaan dengan alam dan manusia.
Pengalaman pribadi telah membuktikan kebenaran tentang keindahan buah dari perjumpaan yang mendatangkan gagasan itu.
Dalam perjalanan ke Tübingen, ingin sekali menulis dalam perjalanan itu, namun saya tidak menemukan ide-ide segar. Akan tetapi, ketika melewati kota Tübingen menuju rumah penulis Kompasiana Hennie Triana, mata saya terpana ketika melihat satu pemandangan indah pada sisi kanan.
Pada saat itulah, saya cepat-cepat mengambil gambar pemandangan alam yang sangat indah itu. Dari situlah, saya menulis tentang keindahan perjumpaan dengan alam.
Goresan kecil tentang musim semi yang memanjakan mata. Satu pemandangan alam yang mengais kata-kata telah berubah hingga menjadi satu tulisan syukur kepada Tuhan.
2. Horison berpikir baru muncul pada momen perjumpaan dengan yang lain
Semula cuma sebuah mimpi. Mimpi tentang satu perpustakaan tua di kota Tübingen. Mimpi itu sudah lama, sejak saya masih di Indonesia.
Mimpi itu semakin mendekat, ketika bertugas di Jerman. Namun kesibukan itu selalu menemukan alasan tepat untuk menunda meraih mimpi-mimpi lama.
Nah pada 2 Mei 2023 itulah, mimpi lama saya telah menjadi kenyataan. Membayangkan sebuah mimpi yang menjadi kenyataan, bagi saya itulah adalah bukti kebaikan dari Tuhan.
Ya, tentang belas kasihan ilahi yang membuka cakrawala berpikir untuk menemukan satu benang merah dalam relung waktu tentang mengapa mimpi bisa menjadi sebuah kenyataan?
Saya memberanikan diri untuk masuk ke dalam ruang baca perpustakaan tua itu. Tampak semua kursi hampir semua terisi. Hening dan sepi. Saya cuma mendengar berisik suara kertas yang dibalik ke halaman berikutnya.
Dalam hati kecil saya, jujur ingin sekali mendapatkan sesuatu yang indah dari ruangan tua itu. Saya mencoba mengambil secara acak saja buku-buku tebal pada lemari yang tersusun rapi itu.
Tidak disangka, mata saya terpana pada nama seorang penulis Vann, Gerald, dengan judul buku yang sebetulnya memberikan jawaban atas pertanyaan saya sebelumnya: Das göttliche Erbarmen atau satu belas kasihan ilahi.Â
Oh...itukah yang namanya perjumpaan yang membuka horisan baru? Tentu saja, saya menjawab "ya."Â
Buku dan tulisan para penulis adalah jawaban atas pertanyaan manusia yang sedang berziarah di bumi ini dan sedang mencari jawaban-jawaban.
3. Perjumpaan dengan yang lain itu bisa menjadi momen kritik diri sendiri
Hati dan pikiran semakin terpana pada keheningan ruangan tua. Apalagi melihat ada begitu banyak orang-orang muda dengan sosok wajah ingin tahu (neugierig) ala ilmuwan ternama, duduk sambil mengkerut wajah membaca dalam hening sambil goyang-goyang kepala.
Saya coba bergeser ke posisi lain cuma ingin mengubah sudut pandang tentang ruang tua. Dalam hati kecil sebenarnya sedang bertanya, masih mungkinkah ada sesi perjumpaan yang mengejutkan di dalam ruang tua itu?
Pada sisi sebelah kanan dari pintu masuk, tepatnya di rak yang kedua, terlihat buku berwarna putih cerah dengan tulisan: Carey & Hoadley: The Archive of Yogyakarta, Volume II.Â
Saya mengambil buku itu dan membacanya. Oh ternyata di dalamnya berisikan tulisan bahasa Jawa. Saya tidak bisa mengerti apapun tentang isinya.Â
Hanya ada satu yang saya percaya bahwa nama Yogyakarta bisa tertulis di perpustakaan Tübingen. Itu sudah cukup bagi saya. Ketika Yogyakarta disebut, tentu saja nama Indonesia ada di sana dan saya tahu bahwa di perpustakaan tua itu ada buku tentang Indonesia.
Pertanyaannya, apakah buku itu dianggap penting di Indonesia? Apakah arsip sejarah tentang Yogyakarta diminati di Indonesia?
4. Perjumpaan dengan anggota rumah Kompasiana, berdebar tentang perempuan Kompasiana
Sesi perjumpaan yang paling berkesan itu tentu saja ketika bertemu penulis hebat senior saya Hennie Triana. Jantungku sungguh berdebar saat pertama melihat mbak Hennie.
Antara rasa kagum dan heran bisa bertemu Kompasiana hebat seperti Hennie Triana dan Theresia Assenheimer di sana. Momen perjumpaan itu tidak mungkin dilupakan.
Di dataran kecil di atas bukit dengan view yang begitu indah dan luas terbentang hamparan bunga-bunga kuning raps, ratusan tulisan berkualitas dibagikan dari sana.
Kicauan burung-burung merdu meriah, di taman rumah mbak Hennie Triana. Saya pernah tertawa lepas ketika mendengar cerita mbak Hennie tentang burung-burung kecil yang mencuri batang-batang ijuk dari depan rumahnya.
Atap hiasan kecil di depan rumah hingga meranggas tercabik karena ulah burung-burung kecil itu. Tapi, tak terdengar kata "tidak suka". Dari situlah saya mengerti bahwa mbak Hennie pencinta alam dan lingkungan.
Uniknya lagi, mbak Theresia untuk pertama kalinya memasuki halaman rumah mbak Hennie Triana mati-matian tidak mau melewati rumput yang hijau, tetapi melalui setapak kecil. Katanya, supaya rumput itu tidak rusak.
Kok dua Kompasiana itu sama-sama suka alam dan lingkungan, lalu siapakah saya? Ah, saya cukup jadi pengamat yang menulis tentang perjumpaan keduanya.
Maaf ni, saya mengamati keduanya asik bercerita dalam bahasa Indonesia, sampai lupa bahwa Bojonya Mbak Hennie juga ingin mengerti.Â
Tapi katanya, "oh tidak apa-apa." Pada teras rumah yang indah, sambil mendengar siulan burung-burung kecil di taman, kami bercerita tentang banyak hal.
Satu hal yang paling membanggakan dan kami bicarakan adalah bahwa rumah Kompasiana itulah rumah yang mempertemukan kita yang berbeda. Dari tulisan, hingga perjumpaan dan kunjungan, bukankah itu suatu keajaiban? Satu keajaiban yang terjadi ketika orang mulai berbagi inspirasi dan buah pikir.Â
Oh indahnya suatu perjumpaan. Tertinggal pertanyaan, kapan kita bisa berjumpa lagi dan bisa menulis cerita tentang kita?
5. Dari perjumpaan itu datang komentar tentang kerinduan untuk berjumpa
Perjumpaan dengan orang lain, alam dan apa saja sebenarnya tidak pernah sia-sia. Apalagi ketika orang menulis tentang perjumpaan itu dan merefleksikannya.
Dari pemahaman seperti itu, saya jadi semakin sadar bahwa betapa berartinya ketika saya belajar menulis di Kompasiana sampai saat ini.Â
Ada sekitar 4 halaman komentar pada tulisan Kompasianer Hennie Triana tentang Jumpa Kompasiana Jerman. Dari komentar-komentar itu, saya melihat betapa besarnya kerinduan teman-teman semua untuk saling berjumpa.
Saya percaya bahwa perjumpaan itu indah, bahkan akan menjadi lebih indah lagi ketika perjumpaan antara para penulis. Dari satu perjumpaan mereka bisa menulis dari versi yang berbeda.
Keindahan yang bisa dirasakan dari ranah tafsir sang penulis itu tidak pernah sama tentang satu perjumpaan, apalagi lagi tentang alam, buku-buku dan suara-suara yang bisa terdengar.
Kekeringan gagasan hanya mungkin akan jadi "basah" ketika orang berani berjumpa dengan yang lainnya.
Salam berbagi, ino, 9.05.2025.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H