Hembusan angin krisis perlahan-lahan mulai terasa sampai ke pelosok negeri ini. Narasi beras mahal semakin membahana, sementara itu motivasi untuk bangkitkan kesadaran masyarakat nyaris tidak terdengar. Tapi, satu hal yang harus diingat adalah bahwa orang jangan pernah terlambat mengambil langkah antisipasi krisis sejak dari sekarang ini | Ino Sigaze.
Di tengah isu-isu resesi tahun 2023 dengan angka-angka inflasi yang tidak stabil disertai dengan kondisi perang Rusia-Ukraina yang belum tampak sinyal perdamaian, terasa bahwa secara keseluruhan semua itu saling mempengaruhi termasuk dampaknya sampai ke Indonesia.
Kita tidak bisa menyangkal bahwa terpaan krisis ini semakin terasa hembusannya sampai ke pelosok Indonesia. Bagaimana tidak? Harga beras saat ini sudah mencapai 12.000 per kilogram.
Sebagian orang mengatakan beras dengan harga 12.000 per kilogram itu kualitasnya sangat memprihatinkan. Oleh karena kualitas yang berbeda dan tidak sesuai dengan apa yang diharapkan sekurang-kurangnya kualitas standar, maka mau tidak mau beras dengan harga 15.000 per kilogram itu adalah pilihan tidak terelakan.
Apakah masyarakat bisa membelinya?
Bisa dan tidak itu sebenarnya sangat tergantung pada keadaan ekonomi mereka secara keseluruhan. Hal yang sangat memprihatinkan lagi bahwa sampai dengan saat ini perubahan cuaca semakin tidak menentu.
Dampak dari perubahan iklim yang tidak menentu itu tentu saja berpengaruh pada gagalnya hasil panen masyarakat. Apalagi sebagian besar masyarakat saat ini sangat tergantung pada hasil komoditi jangka panjang.
Liburan tahun lalu, sudah bisa saya saksikan sendiri. Di wilayah kabupaten Ende bagian barat, sebetulnya wilayah itu adalah penghasil kemiri.
Sayangnya yang terlihat cuma daun yang rimbun, sedangkan ketika berbunga, hujan datang, seakan kembali menggugurkan bunga-bunga harapan itu.
Ya, apa yang bisa diharapkan? Krisis sudah mulai terasa di Flores, NTT. Narasi tentang krisis ini bukan berarti seakan menakut-nakuti, tetapi suatu kenyataan yang perlu diantisipasi dari dini.
Oleh karena itu, pertanyaan yang penting sekarang adalah motivasi apa yang perlu diberikan kepada masyarakat supaya tidak benar-benar terpuruk oleh krisis global saat ini.
1. Masyarakat perlu mengubah pola makan
Pola hidup masyarakat tentu ada hubungannya dengan pola makan. Apalagi ketika kita berbicara tentang krisis yang diambang pintu, maka konteks itu tampak sangat erat hubungannya dengan pola hidup dan pola makan.
Masyarakat Indonesia seluruhnya dan masyarakat Flores khususnya saat ini perlu melihat lebih jauh lagi dan melakukan langkah-langkah strategis untuk mencapai zona nyaman.
Praktisnya seperti ini, jika di masa jaya, kita makan nasi tiga kali sehari, maka saat ini pola makan kita perlu diubah, sehari misalnya makan nasi cuma sekali.Â
Dua kali makan umbi-umbian. Mengapa tidak bisa? Orang Eropa itu bisa, kenapa kita tidak bisa? Pengalaman tahun lalu 3 hari di Italia, sarapan pagi mereka sangat sederhana.
Coba bayangkan makan biskuit roma dan kopi. Begitu sederhananya, padahal ekonomi negara mereka lumayan bagus. Nah, mengapa kita tidak bisa mengubah pola makan kita?
Pernah saya bertanya kepada orang-orang di kampung. Jawaban mereka, "Ya, kami sarapan pagi makan nasi, karena kami nantinya bekerja keras, kalau orang di kota yang makan segitu gak apa-apa karena kerjanya di tempat teduh saja."
Konsep seperti itu mungkin perlu dipikirkan lagi. Konsep sehari makan nasi itu bukan dalam arti membatasi makan nasi, tetapi supaya persediaan beras tetap mencukupi karena kita memanfaatkan sumber makanan yang lainnya.
Beranikah masyarakat kita mencoba hidup dengan pola makan yang baru seperti ini, sarapan berupa singkong, pisang rebus, ubi talas dengan kopi.Â
Siang hari baru ada makan nasi dan sayur-sayuran, daging. Sedangkan malam kembali lagi seperti pagi, jika ada sisa dari makanan pada siang hari, maka bisa dimakan lagi pada saat malam.
Mungkin terasa aneh sekali saat membaca ini, ya karena kita belum benar-benar mengalami kekurangan makanan, tapi jika krisis ini benar-benar terjadi, maka tidak ada satupun yang mengeluh. Bahkan seperti tahun 1988, pagi, siang, malam, cuma makan makanan dari umbi-umbi hutan.
2. Mengubah pola hidup dan tuntutan adat serta pesta-pesta
Tradisi dan kebiasaan masyarakat yang berlindung pada tradisi kebudayaan seringkali menyiksa hidup sendiri. Bagaimana tidak? Semua sudah tahu seperti saat ini bahwa beras sangat mahal, namun ketika ada hajatan, mereka masih saja berani untuk mengadakan pesta besar.
Mereka sudah tahu juga bahwa pesta itu selalu menyedot anggaran besar dan bahkan belum ada cerita bahwa pesta itu menguntungkan.
Tentu saja untungnya dibagian solidaritas persaudaraan dan keakraban, tetapi secara ekonomi sudah pasti semakin menambah beban hidup.Â
Lilitan utang akan semakin besar. Belum lagi mana urusan anak sekolah yang dalam arti tertentu harus menjadi prioritas keluarga. Dalam situasi di ambang krisis seperti ini sebetulnya saat yang tepat untuk sedikit menahan diri dengan pikiran antisipatif.
Jika krisis itu benar sampai ke Indonesia, maka dampaknya akan sangat parah, soalnya krisis ini sudah mulai terasa di Eropa. Negara-negara maju saja sudah mulai terasa teriakan keoknya saat ini.
Oleh karena itu, saya pikir adalah sikap yang bijak jika tidak datang dari inisiatif pemerintah setempat, maka masyarakat sendiri secara pribadi perlu mengubah pola hidup mereka.
Adat dan kebiasaan itu tidak lebih penting dari nilai kehidupan manusia. Utamakan keselamatan hidup daripada pemenuhan hukum adat yang terkadang menyiksa pihak-pihak tertentu.
3. Perlunya usaha kreatif dan mandiri rumah tangga
Usaha mandiri yang kreatif itu sebenarnya bisa dilakukan di mana saja. Hal ini karena konteks orang-orang yang mengeluh harga beras mahal adalah sebagian besar orang di desa yang selama ini hidup dari hasil tanaman.
Tanpa disadari terjadi perubahan mental hidup masyarakat ini. Entahkah karena mereka pikir bahwa hidup ini seperti menekan tombol telepon dan bisa nyambung ke mana-mana.
Sehingga hidup ini juga akan mudah seperti itu, tinggal tekan tombol minta bantuan, maka pemerintah akan mengirimkan bantuan. Coba bayangkan saja kalau krisis ini terjadi serentak, bagaimana negara bisa membiayai semua rakyatnya yang lebih dari 270 juta ini.
Bayangan krisis global sebenarnya bayangan wajah yang seram. Hal ini karena jika secara global kekurangan beras, maka ketika Indonesia tidak punya pasokan beras yang cukup, kemana kita harus mendapatkannya, kalau saja negara-negara di luar Indonesia sama-sama sedang mencari beras?
Saya kira langkah antisipasi sangat penting dilakukan sejak saat ini. Masyarakat kita perlu dihimbau mulai dengan UMKM di sekitar rumah mereka, menanam tanaman sayur, bahkan sejauh mungkin bisa mencukupi kebutuhan sendiri tanpa harus mengharapkan bantuan pemerintah.
Kesadaran positif itu mesti datang mulai dari keluarga sejak saat ini. Alam kita masih memberikan kehidupan melalui hasil-hasil alam yang belum semuanya bisa diolah dengan baik.
Menjadi kreatif di ambang krisis ini adalah cara terbaik agar tetap bertahan saat krisis ini datang.Â
Salam berbagi, ino, 28.02.2023.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H