Mohon tunggu...
Inosensius I. Sigaze
Inosensius I. Sigaze Mohon Tunggu... Lainnya - Membaca dunia dan berbagi

Mempelajari ilmu Filsafat dan Teologi, Politik, Pendidikan dan Dialog Budaya-Antaragama di Jerman, Founder of Suara Keheningan.org, Seelsorge und Sterbebegleitung dan Mitglied des Karmeliterordens der Provinz Indonesien | Email: inokarmel2023@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

3 Potensi Retaknya Harmonisasi Hubungan Bupati dan Wakil serta Alternatif Solusinya

23 Februari 2023   05:03 Diperbarui: 9 Maret 2023   10:37 449
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi jabatan bupati (Sumber gambar dari Kompas.id/TOTO SIHONO)

Perbedaan kepentingan sering tidak bisa dihindari dalam setiap jabatan politik, bagaimana bisa mengatasi perbedaan? Itu tugas dan tanggung jawab yang tidak mudah. Di sana dibutuhkan ketenangan berpikir, keterbukaan dialog harmonis dan pembagian kepentingan | Ino Sigaze.

Berita terkait mundurnya Wakil Bupati Indramayu Lucky Hakim pantas disorot bukan karena hal seperti itu aneh terjadi, tetapi lebih bahwa cukup sering terjadi. 

Keseringan terjadi hubungan yang tidak baik itulah menjadikan tema sekitar harmonisasi hubungan Bupati dan Wakilnya hangat belakangan ini.

Hampir pasti bahwa hal serupa bukan hanya terjadi di Indramayu, tetapi hampir di semua Kabupaten di seluruh Indonesia. 

Pertanyaan logisnya, mengapa ketidakharmonisan itu bisa terjadi?

Ada 3 kemungkinan alasan retaknya harmonisasi antara Bupati dan Wakilnya:

1. Jabatan wakil dan pemimpin daerah itu adalah jabatan politis

Baca juga: Prana Cinta

Kita tahu bahwa jabatan pemimpin dan wakil pemimpin daerah adalah jabatan politik. Umumnya jabatan itu diraih berdasarkan hasil koalisi.

Jabatan hasil koalisi sebenarnya  bukan karena latar belakang pemahaman mereka satu sama  lain, tetapi lebih-lebih karena kepentingan politik antara keduanya.

Apalagi umumnya wakil dan bupatinya berasal dari partai yang berbeda. Koalisi dalam hal ini tidak hanya membawa kepentingan partai, tetapi juga perhitungan pribadi yang akan tetap menjaga kepercayaan dari partai-partai pendukungnya.

Belum lagi kehadiran keduanya telah menjadi representasi dari suara rakyat yang mana pernah mereka janjikan sesuatu. Kekecewaan sering terjadi ketika merasa bahwa dalam urusan perhatian pada massa pendukung itu tidak berimbang secara politis.

Ada 3 potensi retaknya harmonisasi bupati dan wakil serta solusinya | Dokumen pribadi oleh Inosenisus I. Sigaze.
Ada 3 potensi retaknya harmonisasi bupati dan wakil serta solusinya | Dokumen pribadi oleh Inosenisus I. Sigaze.

2. Ketidakjelasan pembagian wewenang (Job Description)

Ketidakjelasan pembagian wewenang jabatan mereka sering menjadi kendala. Ya, katakan saja jika di sana tidak ada transparansi terkait pembagian wewenang dengan jelas dan tegas, maka besar sekali kemungkinan prasangka.

Seorang wakil akan selalu ragu-ragu (unsicher) dalam gerak tindakan politiknya, karena jangan-jangan dikatakan telah melampaui peran pimpinannya. 

Asumsi buruk pun bisa saja muncul jika tidak ada keterbukaan antara keduanya. Lebih parah lagi, kalau diketahui latar belakang pendidikan keduanya yang berbeda.

Keseganan akan menambah jarak keterbukaan keduanya yang pada akhirnya berujung pada saling curiga dan pada akhirnya terasa seperti musuh dalam selimut.

Ya, masa menjadi akur antara wakil dan pimpinan itu umumnya hanya berlangsung pada tahun pertama, kemungkinan besar di tahun kedua itu ada saja perhitungan dan perbedaan pendapat antara keduanya.

Konteks perbedaan gagasan dan prioritas bisa saja menjadi pemicu dari retaknya harmonisasi antara keduanya. Hal seperti itu pernah terjadi juga di Flores pada tahun 2004.

Bahkan hubungan tidak harmonis itu bisa tercium sampai menjadi pembicaraan masyarakat biasa di luar sana. Saya membayangkan bahwa ketidakharmonisan dalam kantor atau tubuh pemerintah daerah itu sama seperti persoalan dapur rumah tangga, kenapa harus bisa terkuak keluar.

Rupanya jalan buntu selalu ditemukan di sana, lebih-lebih ketika tidak ada lagi kemungkinan komunikasi yang konstruktif dan pendekatan yang bisa diterima sesuai akal sehat.

3. Persaingan kepentingan untuk langkah berikutnya

Harmonisasi hubungan antara pimpinan dan wakil di tingkat daerah terasa sering menjadi rawan ketika masa-masa akhir dari jabatan mereka. 

Entah karena apa, yang jelas bahwa kemungkinan prediksi terkait persaingan kepentingan antara keduanya. Tidak ada bupati dan wakil bupati yang hanya menginginkan satu periode saja.

Artinya pada tahun terakhir dari masa jabatan mereka, sebenarnya sudah otomatis perasaan hati keduanya sudah terarah ke depan. 

Sukses berikutnya sudah dipikirkan mulai dari sekarang dan bisa saja dari pengalaman koalisi di periode yang sekarang keduanya sudah menemukan titik lemah dari keduanya dan sudah menjadi tidak mungkin untuk lanjut di periode kedua dengan posisi yang sama.

Wakil pasti punya kepentingan akan menjadi pimpinan, demikian juga yang pernah berada di puncak, gak mungkin mau menjadi wakil untuk periode selanjutnya.

Nah, dalam konteks perhitungan seperti itulah, keduanya sudah tidak bisa lagi bisa berdamai secara psikis. Terasa bahwa keduanya sudah membuat perhitungan untuk langkah politik selanjutnya.

Bahkan kedua bisa saling merasakan ada perhitungan itu dan pada saat yang sama keduanya tidak sanggup untuk membicarakan itu secara terbuka.

Koalisi akhirnya hanya menjadi pintu masuk untuk menikmati periode pertama, selanjutnya ayo kita bermain lagi dan bertarung di kesempatan berikutnya.

Tiga kemungkinan alasan itulah yang menurut saya paling kuat dan berpengaruh retaknya harmonisasi antara wakil dan bupati di suatu daerah.

Ya, tentu saja ada faktor-faktor lainnya, seperti kemungkinan miskomunikasi dan hal-hal lainnya, tetapi paling mendasarkan berkaitan dengan konteks jabatan politik, ketidakjelasan berkaitan dengan job description dan persaingan kepentingan untuk langkah politik selanjutnya.

Apa solusinya?

Tidak ada solusi tunggal yang bisa dikatakan paling ampuh untuk mengatasi ketidakharmonisan antara Bupati dan Wakilnya. Oleh karena itu, kita hanya bisa memberikan perspektif tentang kemungkinan solusi yang bisa saja berubah-ubah sesuai situasi.

  • Jabatan politik membutuhkan kontrak politik secara tertulis terutama berkaitan dengan koalisi dan konsekuensinya.
  • Kejelasan pembagian tugas dan wewenang perlu sejelas mungkin yang diatur dalam peraturan daerah dan bukan dengan prinsip "nanti kita atur saja" atau elegannya berdasarkan prinsip kompromi.
  • Perlunya memperkuat wawasan kepemimpinan sehingga mereka tidak terbawa arus nafsu kuasa, sampai melupakan tanggung jawab mereka pada aspirasi masyarakat yang mesti mereka realisasikan selama masa jabatan mereka.

Salam berbagi, ino, 23.02.2023.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun