Mentalitas masyarakat tertentu sering menemukan afirmasi budaya bersamaan dengan kemajuan teknologi dan juga kemungkinan jalan pintas | Inosensius I. Sigaze.
Dunia perjokian tentu saja bisa diatasi dalam perjalanan waktu, jika saja setiap orang punya kesadaran yang positif terkait betapa pentingnya karya sendiri, berpikir mandiri dan kreatif mengembangkan gagasan dari nalar waras.
Dalam hal ini saya melihat ada celah yang datang dari latar belakang budaya tertentu yang mendukung praktek perjokian kian subur.Â
Bahasa dan latar budaya itu bisa jadi ikut berpengaruh secara bawah sadar terkait praktik perjokian lebih-lebih kalau berdekatan dengan kemalasan pada sisi lainnya.
Mentalitas yang datang dari latar belakang budaya itu bisa saja dari setiap budaya di setiap daerah di Indonesia. Buktinya bahwa ada ungkapan khas yang terkait dengan kemungkinan hubungan perjokian.
Napa tena dalam pemahaman budaya Ende, Flores
Dalam tulisan ini, saya mengangkat budaya dan bahasa orang Ende, Flores dengan istilah khasnya "Napa tena". Ungkapan ini selalu berarti "menunggu dan terima bersih saja."
Napa itu berarti menunggu atau menunggu saja, tanpa melakukan sesuatu; sedangkan tena berarti seperti terbuka, menadah. Jadi singkatnya secara harfiah berarti seseorang menunggu saja pada kebaikan orang lain, tanpa ada daya untuk mengkritisi apakah itu baik untuk dirinya atau tidak.
Ungkapan "Napa tena" itu selalu punya konotasi negatif dalam pemahaman budaya kehidupan orang Ende. "Napa tena" itu sama saja dengan menjadi seperti seorang bayi hanya menunggu disuap saja, tanpa ada perjuangan.Â
Bayi mungkin lebih baik, karena memang seperti itu keadaannya, ya tidak bisa ada kemungkinan lain, tapi bagi orang dewasa dan berpendidikan, bagaimana mungkin bisa dipahami dengan mentalitas yang hanya menunggu saja.
Mentalitas "Napa tena" itu tentu akan berdampak parah pada pendidikan, jika ada kemungkinan lain yang mendukung mentalitas itu sendiri.
Persoalannya bahwa orang-orang yang terlahir dengan mentalitas "Napa tena" bertemu dengan kehidupan dan budaya lain yang menawarkan sesuatu yang sama persis artinya dengan "Napa tena."
Afirmasi budaya dan fenomena perjokian
Perjumpaan kebiasaan itu akhirnya menjadi semacam afirmasi budaya yang selama ini terlihat biasa saja, bahkan tidak pernah didefinisikan.
Pada puncak dari perjumpaan itu, orang tidak sanggup membuat distingsi yang tegas mana yang baik untuk hidup dan masa depannya, dan mana yang destruktif.
Napa tena akhirnya menjadi semakin diperkuat karena adanya kemungkinan tawaran perjokian. Salah siapa?Â
Tidak bisa saling mempersalahkan, cuma tampak sekali bahwa latar budaya dan mentalitas tertentu yang cenderung tidak konstruktif harus disadari dan direfleksikan secara baik.
Tanpa refleksi kritis terhadap mental budaya tertentu, maka seseorang tidak akan cukup mandiri dalam cara berpikir dan bahkan dalam usaha untuk merencanakan masa depannya sendiri.
Pengalaman menjadi joki ringan waktu SMA di tahun 1998
Setelah merefleksikan lagi praktek perjokian saat ini, saya jadi ingat fenomena itu sebenarnya sudah ada sejak lama, cuma bentuknya itu yang berbeda-beda dengan grad atau derajatnya berbeda.
Saya jadi ingat, pada waktu SMA tahun 1998 dulu, saya berada di jurusan IPA dan kebetulan sekali saya sangat tekun belajar Matematik, Fisik dan Kimia dan rajin mengerjakan tugas rumah, maka seperti seperti punya kemampuan lebih.Â
Oleh karena itu, tanpa saya sadar teman-teman sering datang ke kamar kos saya untuk meminta hasil pekerjaan saya, lalu mereka menulis ulang begitu saja hasil pekerjaan rumah saya.
Anehnya lagi, mereka tanpa meminta penjelasan bagaimana bisa mendapatkan hasil seperti itu. Lama kelamaan saya merasa seperti disogok gitu, soalnya teman-teman yang datang minta bantuan itu, membawa saya lauk ikan, ikan goreng dan makanan-makanan enak.
Jadi, sekarang jadi sadar bahwa praktik perjokian barangkali seperti itu. Nah, pada waktu itu sering sebagai guyonan kami selalu bilang, "Enak e napa tena tu." atau oh senangnya terima bersih.
Hal yang menarik lainnya, ketika di kelas, mereka tahu bahwa jawaban mereka benar, tetapi tidak berani untuk tampil ke depan untuk mengerjakan di depan teman-teman semua.
Persoalannya adalah takut jangan sampai ditanya kenapa sampai ada hasil seperti itu. Cara menguraikan rumus sampai kepada jawaban itu yang membuat mereka kurang percaya diri (lack of confidence).
Dari situ saya mengerti, mengapa para sarjana di masyarakat yang merupakan hasil dari perjokian itu tidak bisa tampil di tengah masyarakat, yakni karena kurangnya rasa percaya diri mereka.
Hati mereka tetap berkata jujur bahwa sebenar mereka tidak mampu karena hasil yang ada itu adalah karya orang lain dan bukan karya mereka sendiri.
Rupanya perjokian itu ada hubungannya dengan mental malas. Kemalasan itu akhirnya orang tidak mau berjuang sendiri dan lebih mencari jalan pintas.Â
Dampak dari kemalasan dan suka mencari jalan pintas itu adalah lack of confidence.
Pada prinsipnya, ada hubungan antara ungkapan sehari-hari dalam bahasa daerah, budaya dan mentalitas manusia, yang secara konkrit nyata dalam ungkapan "Napa tean", budaya menunggu dan terima bersih, mentalitas malas dan perjokian, yang berdampak pada kenyataan lack of confidence.
Salam berbagi, ino, 20.02.2023.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H