Apakah hening 10 menit itu menjadi kerinduan banyak orang? Apakah cuma orangtua saja yang membutuhkannya? Atau orang sakit saja yang merasa urgen buatnya?
Saya berhenti bertanya, lalu pejamkan mata merasakan keheningan dan kesunyian 10 menit.
Keheningan 10 menit berlalu, muncul gagasan apakah tidak menarik, jika saya menulis tentang hal itu?
Sambil duduk di belakang kapel saya coba menulis kisah itu semua.
Ya, sebuah kisah 10 menit melihat seorang ibu yang mencari keheningan. Kisah sepuluh menit berjumpa dengan seorang ibu di kapela yang tidak berkata apa-apa.Â
Kisah 10 menit perjumpaan dengan kenyataan lain yang tidak pernah saya duga.
Apa artinya 10 menit dalam hidup saya?Â
Apakah saya bisa menyisihkan waktu 10 menit untuk orang lain?Â
Apakah saya bisa menyediakan waktu 10 menit untuk mendengarkan cerita orang lain?
Apakah saya bisa punya waktu 10 menit menatap ke langit untuk melihat keagungan ciptaan ini?Â
Apakah saya bisa menolong orang lain dalam waktu 10 menit?Â
Apakah saya bisa punya waktu 10 menit untuk berdoa bagi yang tertimpa bencana di Turki dan Surya?
Ternyata saya juga sudah punya waktu untuk menulis kisah ini selama 10 menit.
Ini pelajaran terbaru dalam hidup saya tentang 10 menit belajar menyimpan kenangan melalui sebuah tulisan.
10 menit ternyata saya butuhkan untuk membaca ulang dan mengoreksinya. Ya, menulis itu ternyata lebih sulit dari melihat orang lain yang sedang mencari keheningan 10 menit di tempat yang sunyi.
Demikian juga mengoreksi diri selama 10 menit itu juga sangat berarti daripada membiarkan diri larut dalam kesukaan mengoreksi orang lain.
Mengoreksi kembali tulisan selama 10 menit itu adalah cara yang baik untuk meredam keinginan cepat-cepat melihat hasil dan tanggapan orang lain.
Hidup ini mungkin akan menjadi semakin berarti, ketika dalam sehari orang punya waktu untuk menulis 10 menit tentang apa yang paling menarik dalam hidupnya hari ini.