Mohon tunggu...
Inosensius I. Sigaze
Inosensius I. Sigaze Mohon Tunggu... Lainnya - Membaca dunia dan berbagi

Mempelajari ilmu Filsafat dan Teologi, Politik, Pendidikan dan Dialog Budaya-Antaragama di Jerman, Founder of Suara Keheningan.org, Seelsorge und Sterbebegleitung dan Mitglied des Karmeliterordens der Provinz Indonesien | Email: inokarmel2023@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Jeritan Bencana

11 Februari 2023   02:18 Diperbarui: 11 Februari 2023   02:22 246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jeritan bencana | Dokumen diambil dari: Spiegel.de

Asap mengepul, bangunan runtuh, kabel listrik pun putus, mobil hancur histeris teriakan minta ampun menggelegar di setiap sudut kota itu.

Kenapa Tuhan menghukum? 

Pertanyaan itu kembali didengung dari manusia yang sedang tertimpa duka dan sengsara. 

Gempa tak pernah kenal ampun.

Datangnya bisa saja tak terduga, saat semua tertidur lelap dalam mimpi-mimpi indah. Datangnya bahkan sekejap, namun seakan tak peduli hanya ingin merenggut nyawa.

Ayah, harus terpisah dari ibu dan anak-anaknya. Ibu harus terpisah dari suami dan anak-anaknya. Anak-anak yang tak berdaya juga harus terpisah dari orangtua mereka.

Terlalu kejam, amarah gempa. Gempa itu seakan penguasa bumi, seakan bumi ini ada di telapak tangannya. Sesuka hati menggoyang hingga runtuh semua yang kokoh dan perkasa.

Tak ada lagi karya tangan manusia yang menjulang di tengah kota. Tak ada lagi perbedaan orang kaya dan miskin. Kau menjadikan manusia sama.

Terdengar cuma satu tangisan, satu jeritan bencana. Histeris karena luka dan kehilangan yang tak pernah dibayangkan ada. Jeritan bencana itu merinding jiwa.

Ingin tobat, namun sudah terlambat, ingin sebut nama Tuhan, tapi sepertinya Dia tidak ada. Ingin marah pada-Nya, namun, Ia tidak peduli. Apakah Tuhan juga sudah tertimpa bencana?

Mungkinkah di tengah jeritan bencana, Ia hadir untuk menyembuhkan dan menolong yang terluka dan kehilangan. Mungkinkah Ia bisa menyelamatkan ribuan yang telah meregang nyawa?

Jeritan bencana itu seakan-akan Dia sudah tiada. Di manakah kuasa-Mu untuk 20.000 warga Turki yang wafat? Elegi di tengah bencana dari orang-orang yang tidak berdaya.

Salam berbagi, ino, 11.02.2023.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun